Self
injury merupakan kelainan psikologis yang jarang
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari bukan karena jumlah kasus ini sedikit
namun karena kasus-kasus yang ada merupakan suatu “fenomena gunung es”. Saat
ini terdapat kecenderungan semakin meningkatnya jumlah remaja dan dewasa muda
yang melakukan self injury sehingga topik ini harus dipahami dengan lebih baik.
Seringkali kasus self injury menimbulkan kesulitan baik untuk pelaku sendiri
maupun terhadap psikiater yang bertugas menjadi terapisnya. Jika tidak
ditangani secara tepat maka self injury dapat berubah menjadi usaha bunuh diri
yang nyata.
Tindakan mengambil
pisau kemudian digunakan untuk diiriskan pada tubuh sendiri kemudian
memperhatikan darah yang mengalir dari luka tersebut mungkin merupakan tindakan
yang tidak terbayang dapat dilakukan oleh seseorang. Namun dalam kenyataannya
beberapa orang melakukannya. Tindakan ini dikenal sebagai self injury. Self
injury atau self harm (menyakiti/melukai diri sendiri) merupakan tindakan
menimbulkan luka-luka pada tubuh diri sendiri secara sengaja. Tindakan ini
dilakukan tidak dengan tujuan bunuh
diri tetapi
sebagai suatu cara untuk melampiaskan emosi-emosi yang terlalu menyakitkan
untuk diekspresikan dengan kata-kata oleh karena itu maka self injury dibedakan
dari bunuh diri walau keduanya sama-sama menyebabkan luka fisik pada tubuh.
Perilaku ini bertujuan untuk mencapai pembebasan dari emosi yang tak
tertahankan, perasaan bahwa dirinya tidak nyata, dan mati rasa.
Self
injury merupakan hal yang tabu baik di budaya timur maupun barat.
Mengiris/menggores dan
membakar kulit adalah bentuk-bentuk self injury yang paling umum. Biasanya
mereka menggunakan silet, pisau, pecahan kaca, atau alat-alat tajam
lainnya-bahkan tutup botol atau kartu kredit. Keluarga pelaku atau orang-orang
di sekitar mereka yang mencoba menghalangi dengan menyingkirkan benda-benda
tajam sering kali terkejut karena mereka sangat kreatif dan dapat mengubah
benda apapun menjadi senjata dalam sekejap.Tangan dan kaki adalah sasaran
utama, begitu juga dada, perut, paha dan alat kelamin. Kadang-kadang mereka
menorehkan kata-kata di kulit mereka-misalnya gendut dan jelek-untuk
memproyeksikan perasaan mereka akan diri mereka sendiri.
Banyak dari pelaku self
injury memiliki pola rutin yang mereka rencanakan dan lakukan secara teratur.
Banyak juga yang melakukan tindakan-tindakan ini secara acak, saat mereka
memiliki perasaan-perasaan sulit. Mereka menyembunyikan silet di laci, tas,
lemari mereka agar selalu tersedia bila dorongan untuk menyakiti dirinya
timbul, jika mereka tidak memiliki barang-barang yang dapat dijadikan senjata
mereka biasanya kemudian memukul tembok atau membenturkan kepala ke lantai.
Para pelaku self injury
memiliki berbagai pandangan tentang perilaku mereka. Kebanyakan setuju bahwa
perilaku itu merusak, tetapi mereka merasa tidak bisa berhenti karena rasa
nyaman yang diperolehnya. Beberapa dari mereka merasa bangga akan “prestasi”
dan nilai seni yang mereka yakini terpancar dari luka-luka mereka. Sedangkan di
lain pihak beberapa dari mereka merasa sangat malu akan bekas-bekas luka mereka
dan berharap mereka dapat menghilangkan bekas-bekas yang ada pada tubuh mereka.
Hal yang harus
dikhawatirkan adalah bahwa banyak remaja yang saat ini melakukan self injury
akibat menganggapnya sebagai suatu perilaku yang luar biasa dan unik, dan
perilaku ini menyebar di kalangan remaja seperti gangguan pola makan.
Penelitian saat ini belum bisa menunjukan bahwa efek penyebaran secara sosial
ini benar adanya namun Yates (2004) menyatakan bahwa terdapat bukti-bukti yang
menunjukan bahwa seseorang melakukan self injury karena mempelajarinya dari
orang lain. Meskipun bukti-bukti yang pasti saat ini menunjukan bahwa
kebanyakan pelaku menemukan pola perilaku ini secara tidak sengaja. Sebagai
contoh, Conterio dan Favazza (1989) menemukan bahwa 91% pelaku melakukannya
setelah mengetahuinya dari orang lain atau membacanya di salah satu media
sebelum memutuskan untuk terlibat dalam perilaku ini.
Hingga saat ini tidak terdapat
kesepakatan secara internasional mengenai definisi self
injury. Secara ringkas self injury didefinisikan sebagai
mekanisme coping yang digunakan seorang individu untuk mengatasi rasa sakit
secara emosional atau menghilangkan rasa kekosongan kronis dalam diri dengan
memberikan sensasi pada diri sendiri. Self injury merupakan mekanisme coping
yang kejam dan merusak namun banyak orang melakukannya karena memang mekanisme
tersebut bekerja dan bahkan bisa menyebabkan kecanduan. Dalam pendefinisian
lain dikatakan bahwa self injury merupakan segala tindakan melukai diri sendiri
yang dilakukan secara sengaja tanpa adanya maksud membunuh dirinya ataupun
tidak berhubungan dengan kepentingan estetika (misal tato) dan sanksi sosial
dengan tujuan membebaskan diri dari distres
emosional.
Rasa sakit secara fisik
lebih mudah dihadapi ketimbang sakit
secara psikis sebab sakit secara fisik nampaknya
lebih nyata. Nyeri fisik dapat membuktikan pada seseorang bahwa rasa sakit yang
dirasakan secara emosional memang benar dan nyata. Perilaku ini dapat membawa
ketenangan dan membangunkan seseorang. Namun demikian self injury hanya
menyebabkan pembebasan yang bersifat sementara dan tidak mengatasi akar
permasalahannya. Hingga akhirnya seseorang yang pernah melakukannya akan
memiliki kecenderungan untuk mengulanginya dengan peningkatan pada frekuensi
dan derajat kerusakan secara fisik yang ditimbulkannya.
Self
injury dalam istilah lain dikenal sebagai self harm
(SH), self-inflicted violence (SIV), dan self-mutilation walaupun oleh sebagian
besar orang definisi yang terakhir dianggap kurang tepat terutama di kalangan
pelakunya. Dalam arti yang lebih luas, self injury meliputi juga fenomena
lainnya yang berkaitan dengan pengrusakan tubuh sendiri namun pelakunya
melakukan tindakan ini dengan harapan dapat mengatasi atau membebaskan diri
dari emosi yang
tidak tertahankan atau rasa tak nyaman.
Bentuk paling umum dari
self injury adalah membuat irisan dangkal pada lengan atau tungkai. Tindakan
ini di kalangan para pelakunya dikenal sebagai “cutting” dan pelaku self injury
yang secara rutin melakukannya dikenal sebagai seorang “cutter”. Luka iris
multipel yang terlokalisasi tersebut biasanya memiliki kemiripan satu sama lain
dalam arti terpola dan hal ini merupakan ciri khas dari “cutting”. Pada keadaan
yang lebih jarang dijumpai, perilaku ini meliputi juga pemotongan pada bagian
tubuh tertentu, misalnya saja payudara dan organ kelamin. Contoh self injury
lainnya meliputi:
- Meninju, memukul, dan mencakar diri sendiri
- Menggigit tangan, lengan, bibir, atau lidah
- Menggaruk-garuk kulit sampai berdarah
- Mengutak-atik luka yang sedang dalam proses penyembuhan
- Mememarkan tubuh lewat kecelakaan yang sudah direncanakan sebelumnya
- Membakar diri baik dalam bentuk ringan misal dengan rokok atau pembakaran tubuh secara luas.
- Menusuk diri sendiri dengan kawat, peniti, paku, pulpen, dan lainnya.
- Mematahkan tulang-tulang mereka sendiri
- Mencungkil mata
- Menelan bahan kimia korosif, baterai, peniti, dan benda lainnya
Pada beberapa kasus
juga dilaporkan pelaku meracuni dirinya sendiri secara berulang. Kesalahan konsepsi yang
lazim dijumpai dalam self
injury adalah bahwa masyarakat umum menganggap bahwa
tindakan ini dilakukan oleh pelakunya untuk mencari perhatian semata. Sedangkan
dalam kenyataannya, banyak pelaku self injury yang sangat menyadari keberadaan
luka dan parut pada tubuh mereka dan umumnya mereka berusaha menyembunyikannya
dari orang lain. Jika dipertanyakan oleh orang lain bagaimana mereka memperoleh
luka-luka tersebut maka biasanya mereka menjawab bahwa luka-luka tersebut
diperoleh dengan cara lain misalnya saja kecelakaan dan biasanya mereka
menyembunyikannya dengan cara menggunakan baju yang sangat tertutup.
Dalam pendefinisian
yang diperluas, self harm dibedakan dengan self injury. Self harm merupakan
istilah umum untuk seluruh kegiatan melukai diri sendiri (dengan definisi ini
maka penyalahgunaan alkohol dan bulimia termasuk di dalamnya), sedangkan self
injury memiliki pengertian yang lebih spesifik yaitu merupakan tindakan
memotong, mengiris, membuat memar diri sendiri, meracuni diri sendiri, hingga over
dosis (tanpa maksud bunuh diri), membakar diri, dan tindakan lainnya yang
secara langsung untuk dilakukan untuk melukai tubuh. Jadi secara akurat untuk
mendefinisikan self harm atau self injury harus diketahui bahwa maksud dari
tindakan tersebut bukanlah untuk bunuh diri namun untuk mengatasi stres
emosional yang dihadapi oleh seseorang. Baik DSM IV, ICD-10, ataupun PPDGJ III
tidak mengklasifikasikan secara tersendiri gangguan ini walaupun banyak pelaku
self injury yang menginginkan agar kelainan ini dijadikan diagnosa tersendiri.
Walaupun perilaku ini
nampaknya ekstrim namun sebenarnya kita tetap dapat melihat perilaku self
injury dalam kelompok masyarakat yang ‘sehat’. Misalnya menggigiti kuku,
memencet jerawat, atau menggaruk bekas gigitan nyamuk sampai berdarah. Ada
banyak juga orang-orang yang rela mengikuti diet hingga kelaparan hanya supaya
dapat memakai celana ukuran tertentu.
0 comments:
Posting Komentar