Kau Tahu Jawabannya

Sabtu, 19 November 2011

Melalui tulisan, saya mendapatkan banyak pengalaman menarik termasuk kawan baru. Beberapa menghubungi untuk 'berkonsultasi', yang sebenarnya lebih tepat disebut sharing tentang penelitian. Salah satu pertanyaan sederhana namun menjadi dialog menarik yang pernah terlontar melalui sarana chat online ialah 'Bagaimana caranya menyusun teori pada bab 2?'

Jawaban yang saya berikan, tentu sangat standar bahkan saya berani jamin kurang lebih sama dengan dosen pembimbingnya atau kuliah metodologi di kelas. "Bab literatur ditentukan pada bab awal sebagai peta utama penelitian, penyusunan berdasarkan kebutuhan, bukan copy-paste buku teori, telusuri jurnal penelitian dan buku-buku, pelajari pola penulisan di kampus melalui tulisan ilmiah senior di perpustakaan karena setiap kampus punya ciri khas sendiri" dan lain sebagainya yang bisa Anda tambahkan sendiri. Kawan baru di seberang sana menjawab dengan derai tawa,  "Hehe.....iya sih...teknisnya saya sudah tahu, tapi kok susaaah ya.."

Kalimat terakhirlah yang sesungguhnya merupakan isu utama. Jemari saya pun menari di keyboard menyusun kalimat di layar monitor untuknya, "Kalau begitu, baca, baca dan baca sampai 'muntah' denger musik, baca komik,  minum susu dan tidur"

Alur pertanyaan di atas telah masuk dalam prediksi, bukan karena saya cenayang. Saya, begitu juga ia yang bertanya sesungguhnya sudah mengetahui jawabannya secara objektif. Bukan 'menelusuri literatur', 'berdiskusi materi dengan dosen/ kawan' atau jawaban objektif lainnya. Pertanyaan yang sesungguhnya adalah 'Bagaimana melepaskan/ mengendurkan ketegangan untuk dapat bertindak?'

Pertanyaan 'baru' itu pun sesungguhnya tidak terlampau mengejutkan. Lalu mengapa seringkali kita menjadi terpaku seakan membatu, tidak tahu apa yang semestinya dilakukan? Kejadian ini tidak hanya terjadi pada Anda yang sedang dikejar deadline pekerjaan, atau akademik, percayalah, episode ini akan selalu terjadi pada kita “as long as we live”

Client-Centered Therapy

Tokoh psikologi humanis, Carl R. Rogers (Feist & Feist, 2002) meyakini adanya kekuatan dalam diri setiap orang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Asumsi dasar dari terapi Rogerian adalah formative tendencydan actualizing tendency.
Rogers memandang semua organisme (tidak hanya manusia) memiliki kecenderungan untuk bergerak dari yang sederhana menuju kompleksitas (kecenderungan formatif). Organisme kompleks yang tersusun dari sel soliter, kesadaran manusia yang berkembang dari ketidaksadaran primitif menjadi kesadaran terorganisasi tingkat tinggi.

Sementara itu, manusia juga memiliki kecenderungan dalam dirinya untuk bergerak guna memenuhi potensinya (kecenderungan aktualisasi). Dalam diri tiap individu terdapat kekuatan kreatif untuk menyelesaikan masalah, membenahi konsep diri, dan meningkatkan kemampuan dalam mengarahkan diri sendiri. Kecenderungan ini yang kemudian menjadi landasan terpenting dalam terapi Rogerian.

Terkait dengan konsep dasar di atas, Rogers juga membahas Diri dan Aktualisasi Diri. Dalam pandangannya, aktualisasi diri merupakan kecenderungan untuk beraktualisasi seperti yang ia bayangkan tentang dirinya. Ketika seorang individu memiliki hubungan harmoni antara diri dan bayangan dirinya, maka kedua aktualisasi itu menjadi sama/ identik. Namun jika ia melihat dirinya tidak seperti yang ia bayangkan, berarti terdapat perbedaan antara diri dan bayangan dirinya.  

Bayangan diri ini disebut dengan ideal self, sebuah subsistem tentang pandangan tentang diri yang diinginkan. Sementara, self-concept  merupakan segala hal yang dialami secara sadar (meski tidak selalu akurat) oleh individu.

Pada saat saya memiliki diri ideal sebagai orang yang memiliki popularitas di kalangan rekan kantor, sementara (pada kenyataannya) konsep diri saya ternyata tertutup, tidak berani tampil di muka umum. Dalam pandangan Rogerian, saya tidaklah harmoni dengan diri saya sendiri. Perbedaan ini, dalam variasinya bisa menjadi sumber ketidakpuasan, kecemasan, rendahnya self-esteem, dan lainnya.

Untuk Apa Terapis?

Lalu apa gunanya terapis? Jangan lupa, bahwa yang dikemukakan di atas adalah kecenderungan, potensi. Artinya hal itu ada di dalam tiap diri seperti yang dikemukakan Rogers, tetapi belum tentu teraktualisasikan.

Pembahasan terapis, di kalangan Rogerian sering dianalogikan dengan cermin. Terapis berperan sebagai cermin untuk membantu memantulkan bayangan individu. Cara ini yang akan 'memancing' potensi individu untuk mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, setelah melihat masalah dengan lebih terang. Maka dalam Rogerian, salah satu mantra utamanya adalah klien menjadi terapis untuk dirinya sendiri.

Kita tidak akan membahas dengan sangat detil bagaimana metode yang digunakan. Namun kurang lebih ada beberapa prinsip yang sebetulnya sering kita kenakan ketika berinteraksi dengan sahabat. Dalam istilah Roger adalah; congruence dan unconditional positive regard.

Kondisi kongruen hanya akan terjadi jika pihak yang terlibat (klien-terapis) di dalamnya saling menyadari keberadaan masing-masing dan disertai kemampuan dan kemauan  (kesungguhan) untuk  mengekspresikan perasaan secara terbuka. Kondisi kongruen berarti 'sesungguhnya', tidak ada kepura-puraan (faking) di sini. Baik terapis maupun klien tidak menyimpan ekspresi (termasuk respon) dengan beragam emosi. Rogers menyatakan;

"A congruence conselor, then, is not simply a kind and friendly person but rather a complete human being with feelings of joy, anger, frustration, confusion, and so on."

Selanjutnya, penghargaan positif bermakna disukai, dihargai atau diterima oleh orang lain. Ketika kondisi ini bisa terjadi tanpa syarat, itulah yang disebut dengan penghargaan positif tak bersyarat.  Sikap terapis hendaknya tanpa mendominasi, tanpa evaluasi, tanpa syarat, untuk ini Rogers menyatakan;

"Therapists have unconditional positive regard when they are ‘experiencing a warm, positive and accepting attitude toward what is the client"

Satu poin lagi yang tidak kalah penting disebutkan oleh Rogers yakni; emphatic listening. Bagi Rogers, empati bermakna; "temporarily living in the other's life, moving about in it delicately without making judgment"

Seperti sering dituliskan dalam beberapa kesempatan, bahwa empati bukanlah simpati. Rogers menegaskan perbedaan ini dengan menyatakan bahwa empati merupakan perasaan terapis dengan klien, sementara simpati merupakan perasaan terapis untuk klien. Simpati sama sekali bukan terapi, karena merupakan evaluasi eksternal dan biasanya mengarah ke  perasaan mengasihani diri sendiri pada klien. Lebih jelas, Rogers menyatakan sebagai berikut;

"A therapist has an emotional as well as a cognition reaction to a client's feelings, but the feelings belong to client, not the therapist. A therapist does not take ownership of a client’s experiences but is able to convey to the client an understanding of what it means to be the client at that particularly moment."

Sahabat sebagai Cermin

Jika Jacques Lacan, tokoh psikoanalisis Perancis (new-Freudian-Struktualis) terkenal dengan cermin-nya sebagai media kastrasi antara individu dan diri (yang lain). Suatu proses di mana seorang anak manusia pertama kalinya melihat 'orang lain' yang sama dengan dirinya di sebuah cermin. Peristiwa penting dalam kehidupan yang menyadarkan individu akan keberadaannya, eksistensinya. Bukan lagi 'menyatu' dengan individu lain yakni ibu.

Dalam pembahasan ini, rumor bahwa sahabat atau pasangan adakalanya sebagai  'tempat sampah' akan lebih tepat sebagai cermin. Yang diperlukan ketika seseorang mencurahkan isi hatinya (curhat) adalah; self-acceptance dan self-support, sehingga potensi yang dinyatakan oleh Rogers akan keluar. Kondisi kongruen, penghargaan positif tak bersyarat, dan mendengarkan dengan empati lah yang berperan aktif di dalamnya.

Kembali pada dialog antara saya dan kawan saat itu, mungkin setelah offline, ia akan mengikuti saran saya; membaca, minum susu dan tidur. Mungkin dengan cara lain seperti berjalan-jalan, menonton film, atau justru membuka lembaran tugasnya kemudian menyusun bab 2 dengan lancar. Saya sendiri tidak jarang mengalami pola demikian dengan warna berbeda. Mendiskusikan masalah di pagi hari dengan sahabat, kemudian ia memberikan beberapa pandangan yang pada saat itu terlihat aneh meski tidak asing. Tetapi malam harinya saya mengiriminya pesan singkat, "Thanks, I  got the insight!!" , ia pun membalas "You know the best for your self"

0 comments:

Posting Komentar