Melalui tulisan, saya
mendapatkan banyak pengalaman menarik termasuk kawan baru. Beberapa menghubungi
untuk 'berkonsultasi', yang sebenarnya lebih tepat
disebut sharing tentang penelitian. Salah satu pertanyaan sederhana
namun menjadi dialog menarik yang pernah terlontar melalui sarana chat
online ialah 'Bagaimana caranya menyusun teori pada bab 2?'
Jawaban yang saya
berikan, tentu sangat standar bahkan saya berani jamin kurang lebih sama dengan
dosen pembimbingnya atau kuliah metodologi di kelas. "Bab literatur
ditentukan pada bab awal sebagai peta utama penelitian, penyusunan berdasarkan
kebutuhan, bukan copy-paste buku teori, telusuri jurnal penelitian dan
buku-buku, pelajari pola penulisan di kampus melalui tulisan ilmiah senior di perpustakaan
karena setiap kampus punya ciri khas sendiri" dan lain sebagainya
yang bisa Anda tambahkan sendiri. Kawan baru di seberang sana menjawab dengan
derai tawa, "Hehe.....iya sih...teknisnya saya sudah tahu, tapi
kok susaaah ya.."
Kalimat terakhirlah
yang sesungguhnya merupakan isu utama. Jemari saya pun menari
di keyboard menyusun kalimat di layar monitor
untuknya, "Kalau begitu, baca, baca dan baca sampai 'muntah' denger
musik, baca komik, minum susu dan tidur"
Alur pertanyaan di atas
telah masuk dalam prediksi, bukan karena saya cenayang. Saya, begitu juga ia
yang bertanya sesungguhnya sudah mengetahui jawabannya secara objektif.
Bukan 'menelusuri literatur', 'berdiskusi materi dengan dosen/
kawan' atau jawaban objektif lainnya. Pertanyaan yang sesungguhnya
adalah 'Bagaimana melepaskan/ mengendurkan ketegangan untuk dapat
bertindak?'
Pertanyaan 'baru' itu
pun sesungguhnya tidak terlampau mengejutkan. Lalu mengapa seringkali kita
menjadi terpaku seakan membatu, tidak tahu apa yang semestinya dilakukan?
Kejadian ini tidak hanya terjadi pada Anda yang sedang
dikejar deadline pekerjaan, atau akademik, percayalah, episode ini
akan selalu terjadi pada kita “as long as we live”
Client-Centered
Therapy
Tokoh psikologi
humanis, Carl R. Rogers (Feist & Feist, 2002) meyakini adanya kekuatan
dalam diri setiap orang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Asumsi dasar
dari terapi Rogerian adalah formative tendencydan actualizing
tendency.
Rogers memandang semua
organisme (tidak hanya manusia) memiliki kecenderungan untuk bergerak dari yang
sederhana menuju kompleksitas (kecenderungan formatif). Organisme kompleks yang
tersusun dari sel soliter, kesadaran manusia yang berkembang dari
ketidaksadaran primitif menjadi kesadaran terorganisasi tingkat tinggi.
Sementara itu, manusia
juga memiliki kecenderungan dalam dirinya untuk bergerak guna memenuhi
potensinya (kecenderungan aktualisasi). Dalam diri tiap individu terdapat
kekuatan kreatif untuk menyelesaikan masalah, membenahi konsep diri, dan
meningkatkan kemampuan dalam mengarahkan diri sendiri. Kecenderungan ini yang
kemudian menjadi landasan terpenting dalam terapi Rogerian.
Terkait dengan konsep
dasar di atas, Rogers juga membahas Diri dan Aktualisasi Diri. Dalam
pandangannya, aktualisasi diri merupakan kecenderungan untuk beraktualisasi
seperti yang ia bayangkan tentang dirinya. Ketika seorang individu memiliki
hubungan harmoni antara diri dan bayangan dirinya, maka kedua aktualisasi itu
menjadi sama/ identik. Namun jika ia melihat dirinya tidak seperti yang ia bayangkan,
berarti terdapat perbedaan antara diri dan bayangan dirinya.
Bayangan diri ini
disebut dengan ideal self, sebuah subsistem tentang pandangan tentang
diri yang diinginkan. Sementara, self-concept merupakan segala
hal yang dialami secara sadar (meski tidak selalu akurat) oleh individu.
Pada saat saya memiliki
diri ideal sebagai orang yang memiliki popularitas di kalangan rekan kantor,
sementara (pada kenyataannya) konsep diri saya ternyata tertutup, tidak berani
tampil di muka umum. Dalam pandangan Rogerian, saya tidaklah harmoni dengan
diri saya sendiri. Perbedaan ini, dalam variasinya bisa menjadi sumber
ketidakpuasan, kecemasan, rendahnya self-esteem, dan lainnya.
Untuk
Apa Terapis?
Lalu apa gunanya
terapis? Jangan lupa, bahwa yang dikemukakan di atas
adalah kecenderungan, potensi. Artinya hal itu ada di dalam tiap diri
seperti yang dikemukakan Rogers, tetapi belum tentu teraktualisasikan.
Pembahasan terapis, di
kalangan Rogerian sering dianalogikan dengan cermin. Terapis berperan sebagai
cermin untuk membantu memantulkan bayangan individu. Cara ini yang akan
'memancing' potensi individu untuk mampu menyelesaikan masalahnya sendiri,
setelah melihat masalah dengan lebih terang. Maka dalam Rogerian, salah satu
mantra utamanya adalah klien menjadi terapis untuk dirinya sendiri.
Kita tidak akan
membahas dengan sangat detil bagaimana metode yang digunakan. Namun kurang
lebih ada beberapa prinsip yang sebetulnya sering kita kenakan ketika
berinteraksi dengan sahabat. Dalam istilah Roger adalah; congruence dan unconditional
positive regard.
Kondisi kongruen hanya
akan terjadi jika pihak yang terlibat (klien-terapis) di dalamnya saling
menyadari keberadaan masing-masing dan disertai kemampuan dan
kemauan (kesungguhan) untuk mengekspresikan perasaan
secara terbuka. Kondisi kongruen berarti 'sesungguhnya', tidak ada
kepura-puraan (faking) di sini. Baik terapis maupun klien tidak menyimpan
ekspresi (termasuk respon) dengan beragam emosi. Rogers menyatakan;
"A congruence
conselor, then, is not simply a kind and friendly person but rather a complete
human being with feelings of joy, anger, frustration, confusion, and so
on."
Selanjutnya,
penghargaan positif bermakna disukai, dihargai atau diterima oleh orang lain.
Ketika kondisi ini bisa terjadi tanpa syarat, itulah yang disebut
dengan penghargaan positif tak bersyarat. Sikap terapis
hendaknya tanpa mendominasi, tanpa evaluasi, tanpa syarat, untuk
ini Rogers menyatakan;
"Therapists have
unconditional positive regard when they are ‘experiencing a warm, positive and
accepting attitude toward what is the client"
Satu poin lagi yang
tidak kalah penting disebutkan oleh Rogers yakni; emphatic
listening. Bagi Rogers, empati bermakna; "temporarily living in
the other's life, moving about in it delicately without making judgment"
Seperti sering
dituliskan dalam beberapa kesempatan, bahwa empati bukanlah simpati. Rogers
menegaskan perbedaan ini dengan menyatakan bahwa empati merupakan perasaan
terapis dengan klien, sementara simpati merupakan perasaan
terapis untuk klien. Simpati sama sekali bukan terapi, karena
merupakan evaluasi eksternal dan biasanya mengarah ke perasaan
mengasihani diri sendiri pada klien. Lebih jelas, Rogers menyatakan sebagai
berikut;
"A therapist has
an emotional as well as a cognition reaction to a client's feelings, but the
feelings belong to client, not the therapist. A therapist does not take
ownership of a client’s experiences but is able to convey to the client an
understanding of what it means to be the client at that particularly moment."
Sahabat
sebagai Cermin
Jika Jacques Lacan,
tokoh psikoanalisis Perancis (new-Freudian-Struktualis) terkenal dengan
cermin-nya sebagai media kastrasi antara individu dan diri (yang lain). Suatu
proses di mana seorang anak manusia pertama kalinya melihat 'orang lain' yang
sama dengan dirinya di sebuah cermin. Peristiwa penting dalam kehidupan
yang menyadarkan individu akan keberadaannya, eksistensinya. Bukan lagi
'menyatu' dengan individu lain yakni ibu.
Dalam pembahasan ini,
rumor bahwa sahabat atau pasangan adakalanya sebagai 'tempat sampah'
akan lebih tepat sebagai cermin. Yang diperlukan ketika seseorang mencurahkan
isi
hatinya (curhat) adalah; self-acceptance dan self-support,
sehingga potensi yang dinyatakan oleh Rogers akan keluar. Kondisi kongruen,
penghargaan positif tak bersyarat, dan mendengarkan dengan empati lah yang
berperan aktif di dalamnya.
Kembali pada dialog
antara saya dan kawan saat itu, mungkin setelah offline, ia akan
mengikuti saran saya; membaca, minum susu dan tidur. Mungkin dengan cara lain
seperti berjalan-jalan, menonton film, atau justru membuka lembaran tugasnya
kemudian menyusun bab 2 dengan lancar. Saya sendiri tidak jarang mengalami pola
demikian dengan warna berbeda. Mendiskusikan masalah di pagi hari dengan
sahabat, kemudian ia memberikan beberapa pandangan yang pada saat itu terlihat
aneh meski tidak asing. Tetapi malam harinya saya mengiriminya pesan
singkat, "Thanks, I got the insight!!" , ia pun
membalas "You know the best for your self"
0 comments:
Posting Komentar