Jangan Katakan ‘YA’ jika ingin berkata ‘TIDAK’

Sabtu, 19 November 2011

Format Komunikasi Ideal

Kalau kita mengikuti kursus atau membaca buku komunikasi, biasanya kita akan didoktrin untuk belajar mengatakan TIDAK pada hal-hal yang memang tidak kita kehendaki. Slogan yang kerap dipakai adalah: "jangan mengatakan YA jika Anda ingin mengatakan TIDAK". Secara teori, ini memang format komunikasi yang ideal. Kenapa?

Kalau kita mengatakan YA, padahal hati kita sebetulnya ingin mengatakan TIDAK, maka YA yang kita ucapkan itu menyisakan ganjalan di hati. Bentuknya antara lain: menggerutu, merasa diri sebagai korban, atau akan menyimpan kenangan negatif terhadap orang yang memaksa kita itu. Perasaan seperti ini akan menjadi perampok kebahagiaan.

Bahkan jika itu sudah menjadi kebiasaan / sifat, maka ungkapan YA di situ akan menjadi titik lemah. Ini karena ucapan YA di situ, lebih-lebih jika kita seorang pemimpin, pembuat kebijakan atau orang yang diserahi tanggung jawab, akan membawa konsekuensi yang panjang dan luas, misalnya konsekuensi waktu, biaya, tenaga, dan lainnya. Ya-nya kita akan menjadi incaran pemanfaatan.

Pada tingkat pribadi, kalau kita terlalu sering sudah terlanjur mengatakan YA, padahal kita menginginkan TIDAK, itu bisa menimbulkan gangguan internal atau bahkan bisa sampai taraf penyimpangan. Hal itu sudah mencabut fokus dari sesuatu yang semestinya kita tekuni, hanya karena adanya tuntutan untuk melayani. Ini karena, ungkapan YA itu bisa mengundang konsekuensi dalam bentuk ‘tyranny of oughts’ (tuntutan yang mengharuskan kita) atau menghilangkan self-connectedness (keterkaitan dengan diri) yang dapat melemahkan kekuatan dan kemampuan.

Sesuaikah Dengan Kultur Kita?

Meski secara teori sangat mudah dipahami dan diamini,  tapi dalam prakteknya kerap memunculkan pertanyaan. Misalnya,  apa bisa itu kita terapkan di kantor? Apa ada atasan atau organisasi yang mau mendengarkan kata TIDAK dari kita?  Apa bisa itu kita terapkan pada orang yang tingkat hubungannya dengan kita sudah memasuki level intimasi personal (semacam sahabat karib, teman dekat, mitra yang sudah seperti saudara, dll) dan apakah kejujuran selalu harus di nomerduakan.

Seorang yang sudah merasakan betapa slogan di atas tak bisa dipraktekkan sembarangan di kantor langsung menyimpulkan bahwa Don’t say YES if you want to say NO itu adalah budaya Barat yang tidak bisa begitu saja di praktekkan di Timur. Teman saya ini membeberkan sejumlah contoh. Misalnya, kata You di Barat itu digunakan juga untuk seorang anak kepada ayahnya. Coba kalau itu diterapkan di Timur, apa kata orang?   

Dipikir-pikir, ada benarnya juga. Terlalu frontal berterus terang dengan kata TIDAK di tempat kerja atau dalam hubungan pertemanan bisa mengundang pelabelan eksplisit atau implisit yang dapat berdampak kurang sehat pada hubungan kita. Ini misalnya antara lain:

Pertama, kita akan dicap sebagai orang yang resistant (keras kepala / maunya sendiri / sulit didekati). Tempat kerja membutuhkan orang yang fleksibel dan supportive terhadap perubahan agar bisa berperan optimal. Kalau kita resisten dengan sikap yang serba-TIDAK, tentu akan ada dampak tersendiri. Lebih-lebih itu kita nyatakan tanpa memandang orang dan kebutuhan.

Ki Hajar Dewantoro menawarkan panduan yang fleksibel dan supportive  yang bisa di terapkan dalam kehidupan, baik di tempat kerja maupun di lingkungan keluarga. Apa panduannya? Ki Hajar merumuskan, kalau kita depan, kita harus menjadi contoh / teladan. Kalau kita di tengah, kita harus menjadi orang yang memunculkan inisiatif-inisiatif positif. Tapi kalau kita di belakang, kita harus menjadi orang yang menyemangati. Jadi, di kultur Indonesia, mengatakan TIDAK juga butuh kebijaksanaan, kedewasaan serta kepekaan rasa; tahu kapan, dimana, bagaimana mengatakan TIDAK dan apa implikasinya.  Sebaliknya, TIDAK yang dinyatakan membabi buta, justru mencerminkan ketidakmatangan pribadi kita.

Kedua, kita akan dicap sebagai orang yang konfrontatif (tidak bersahabat, atau sulit diajak kerjasama). Cap ini mungkin akan menjadi ganjalan bagi karier kita. Kenapa? Dalam prakteknya, tempat kerja itu tak hanya butuh kompetensi kita semata. Selain kompetensi, mereka juga membutuhkan semangat ko-operasi atau teamwork. Ini pasti tak hanya butuh YA dan TIDAK secara hitam putih. Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, atau menolak informasi yang bertentangan dengan pengalaman kita, bisa jadi berbahaya karena bisa berarti kita menutup pintu perubahan buat diri sendiri. Banyak orang jadi radikal karena begitu yakin dan percaya diri bahwa YA atau TIDAK miliknya, sudah di dasari oleh logika yang dilandasi nilai universal.  

Teamwork sangat dinamis. Adakalanya butuh ko-operasi, butuh konsensus, butuh konsesi, dan butuh kompromi. Bahkan dalam transaksi bisnis pun leluhur kita melarang secara gegabah mengatakan TIDAK terhadap transaksi yang tidak menguntungkan. Adakalanya kita hanya untung di relasi meskipun kita tidak untung di transaksi.

Ketiga, sudah banyak cerita dari kisah nyata  betapa sikap saklek mempersulit  karir.  Apalagi, jika kita masuk dalam organisasi yang iklim politiknya sangat kental. Meski dunia kerja itu dikenal sangat mendewakan kompetensi, tapi dalam prakteknya di beberapa hal, tak sedikit keputusan yang dilandasi oleh kalkulasi personal yang bukan lagi kompetensi.

Jika sudah bicara kalkulasi personal ini, maka rumus yang akan dipakai secara alam bawah sadar adalah: orang akan lebih cenderung melibatkan orang lain yang menurut pengetahuannya lebih loyal, lebih mendukung, atau lebih siap untuk mengatakan YA. Kalau kita terlalu sering mengatakan TIDAK secara sembarangan, bisa-bisa akan membahayakan karier kita. Sebaliknya, mengatakan YA tapi sebenarnya TIDAK, tidak bisa dianggap sebagai pengejawantahan pepatah jawa, ‘wani ngalah luhur wekasane’, yang artinya, berani mengalah mulia budi pekertinya, mulia di kemudian hari.

Lebih Pada Keahlian

Ternyata, untuk bisa mengatakan TIDAK yang baik itu bukan soal kita produk budaya Barat atau Timur, suku Jawa, Sunda atau Sumatra, tetapi lebih karena keahlian. Karena itu, dalam literaturnya, kata TIDAK itu dibedakan menjadi berbagai macam, antara lain:

Kata TIDAK yang asertif. Ini adalah kata TIDAK yang kita ucapkan dengan bahasa / ungkapan yang tidak menganggu hubungan, dengan cara yang baik (sesuai kultur / ma’ruuf), dan didukung dengan alasan yang kuat. Alasan ini mungkin berupa pertimbangan pribadi, kebaikan atau kemaslahatan. Kata TIDAK yang asertif ini bisa saja tidak harus ternyatakan dalam kalimat secara vulgar, tergantung dengan siapa kita berbicara. Kata TIDAK yang asertif inilah yang merupakan produk dari keahlian sehingga dinilai paling baik. Keahlian di sini merujuk pada pengertian bahwa tidak ada orangtua, suku, atau bangsa yang mampu melahirkan bayi dengan bawaan langsung asertif secara otomatik. Orang menjadi asertif karena belajar, entah dengan belajar dari buku, belajar dari kesalahan, atau belajar dengan melihat orang lain.

Kata TIDAK yang agresif-egoistik. Kata TIDAK seperti ini terlontarkan secara agresif (menyerang, menyalahkan, atau menguasai) dan itu dilandasi motif untuk memenangkan kepentingan pribadi yang egois, tanpa mempertimbangkan suasana batin orang lain. Kata TIDAK seperti ini tidak seluruhnya jelek. Dalam beberapa hal tertentu dan terhadap orang tertentu, terkadang ini dibutuhkan. Cuma, secara umum, kata TIDAK seperti ini kurang cocok digunakan untuk / terhadap orang yang punya kedekatan tertentu dengan kita, entah itu kedekatan personal atau profesional, lebih-lebih kedekatan istimewa.

Ada juga yang disebut kata TIDAK yang pasif-manipulatif. Kata ini mungkin kita ucapkan dengan kata TIDAK atau YA, tetapi tujuan kita mungkin hanya untuk memanipulasi, atau terungkapkan dengan cara yang politis dan manipulatif. Secara umum, lebih-lebih kepada orang yang punya kedekatan tertentu dengan kita, YA atau TIDAK yang manipulatif dan politis itu jelas tidak baik untuk hubungan jangka panjang. Cepat atau lambat, pertentangan di batin akan muncul dalam sikap; ketidaksinkronan antara hati dan pikiran menyebabkan ketidaksinkronan antara apa yang diucapkan dengan tindakan.

Mengasah Keahlian

Dengan kata lain, kesesuaian slogan komunikasi itu bukan tergantung pada kebenaran slogannya. Kenapa? Kalau soal kebenarannya sudah tak perlu diperdebatkan lagi. Cuma, supaya kebenaran itu membawa kebaikan dan kemaslahatan saat dipraktekkan, maka dibutuhkanlah keahlian. Beberapa proses yang penting untuk mengasah keahlian itu antara lain:

Pertama, kita perlu belajar melihat konteks dan kepentingan. Hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih di tempat kerja, tak akan cukup diakomodasi oleh YA dan TIDAK. Ada kalanya kita harus mengatakan YA (padahal mestinya TIDAK), tapi itu untuk kebaikan jangan panjang. Adakalanya kita harus mengatakan TIDAK (padahal mestinya YA), tapi itu untuk kemaslahatan yang lebih besar. Intinya, kita perlu belajar melihat konteks dan kemaslahatannya, tidak main asal TIDAK atau asal YA.

Kedua, kita perlu belajar menggunakan cara-cara mengungkapkan isi hati menurut orang yang kita ajak bicara. Di sini, kemampuan empati sangat penting untuk bisa menakar situasi. Secara umum, ada beberapa petunjuk  yang bisa kita pilih untuk mengungkapkan isi hati itu:

Ungkapan yang jelas YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini pas untuk orang yang lebih junior dari kita

Ungkapan yang lemah lembut, baik itu YA atau TIDAK. Biasanya ini pas untuk atasan atau senior, lebih berkuasa

Ungkapan yang mudah dimengerti antara YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini untuk orang yang menurut kita awam tentang urusan yang kita bicarakan.

Ungkapan dengan sikap menghargai, baik YA atau TIDAK-nya. Biasanya ini untuk orang yang lebih tua, secara pengalaman atau usia

Ungkapan yang tegas, antara YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini cocok untuk transaksi jangka pendek dengan orang yang kepentingannya dengan kita sekedar transaksi.

Ungkapan yang baik, antara YA dan TIDAK-nya. Biasanya ini pas untuk orang yang sedang susah dan sangat berharap bantuan dari kita.

Ketiga, kita perlu belajar menggunakan Ilmu Titen (observasi dan menyimpulkan) dari efek kata YA dan TIDAK terhadap orang lain. Nenek moyang kita dulu mengetahui watak alam bukan dari teori, tetapi dari mengamatinya secara intensif dan intim. Cara belajar seperti inipun perlu kita terapkan untuk melatih keahlian dalam mengatakan TIDAK yang baik dengan  meniteni pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain.

Tapi, hasil Ilmu Titen itu jangan sampai kita pedomani sebagai kebenaran mutlak yang sudah final. Ini malah bisa membatasi diri dengan pengalaman pribadi. Jadikan hasilnya itu sebagai petunjuk yang mengandung sebagian kebenaran saja, namun tetap membuka diri terhadap pengalaman dan perubahan baru. Ini agar kita tetap waspada dan juga tetap dinamis.

‘Belajarlah menjadi kuat tetapi jangan keras. Belajarlah menjadi baik tetapi jangan lemah. ‘Belajarlah menjadi tegas tetapi jangan menggunakan gertakan’
‘Belajarlah menjadi rendah hati tetapi jangan jadi penakut’
‘Belajarlah menjadi percaya-diri, tetapi jangan sombong’
(Jim Rohn)

Memahami Batasan

Jadi jelas bahwa slogan di atas tak bisa kita praktekkan secara sembarangan kalau tidak ingin hasil yang sembarangan. Perlu memperhatikan konteks kultur, suasana batin orang, dan keadaan, atau tetap butuh batasan. Leluhur kita mengajari batasan itu dengan ungkapan yang sangat bagus: “Begitu ya begitu, tapi jangan begitu”

“Silahkan Anda mengatakan YA atau TIDAK menurut Anda dan demi kepentingan Anda, tapi jangan terlalu / selalu menurut Anda”, kira-kira begitu kalau dijabarkan. Mengetahui batasan inilah yang merupakan kebijaksanaan paling tinggi. Semua orang akan bisa belajar mengetahui batasan itu asalkan bisa mengontrol musuhnya, yaitu: AMBISI pribadi yang berlebihan, IRI DENGKI yang salah, dan AMARAH yang tak terkontrol. 

0 comments:

Posting Komentar