Strees......

Sabtu, 12 November 2011

Stress? Belailah Kucing!

Bagi penyayang kucing, kalimat diatas mungkin sudah tidak terlalu asing. Namun bagi yang tidak pernah memiliki atau terpaksa menjauhi kucing karena alergi terhadap bulunya, mungkin meragukan dan menganggap judul diatas hanya mitos atau sugesti belaka. Selain kucing, anjing atau binatang berbulu lain, masih banyak binatang peliharaan yang diyakini dapat menjadi obat stress seperti burung atau ikan. Ikan! Siapa yang tak pernah mendengar Lou-Han, si jidat menonjol dengan warna menyolok yang sedang menjadi primadona? Meskipun harganya mahal, sebagian masyarakat Indonesia tidak kehabisan akal untuk mengkoleksinya, termasuk mengalah memilih yang lokal biar sedikit “miring” harganya. Perkutut pun masih menjadi idola sebagian penyayang burung dengan suaranya yang indah, sekali lagi menghilangkan stress!

Stress dapat terjadi dalam berbagai kondisi dan situasi, demikian juga pelaku atau individu yang mengalami stress ini. Pelaku stress pun tidak hanya pada seseorang namun juga secara kolektif seperti masyarakat. Hal itu disebabkan karena sumber stress dapat berasal dari apa pun, tergantung dari persepsi penerima.

Stres

Salah satu pendekatan untuk mengenal stress adalah pendekatan psikologik. Pendekatan psikologik menggambarkan bagaimana cara seseorang mempersepsikan suatu peristiwa atau kondisi, berperan dalam menentukan stress. Hal inilah yang dikenal dengan “Model Penilaian” atau “Penafsiran Stres”.

Stress dirumuskan sebagai suatu keadaan psikologik yang merupakan representasi dari transaksi khas dan problematik antara seseorang dan lingkungannya. Selye mengungkapkan adanya “stressor” yang merupakan unsur lingkungan dari stress (1950). Sedangkan hakekat sumber stress dalam pendekatan psikologik adalah semua kondisi atau situasi yang ada dalam kehidupan kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut dapat ditarik kesimpulan bahwa stress merupakan kondisi yang timbul saat seseorang berinteraksi dan bertransaksi dengan situasi-situasi yang dihadapinya dengan cara-cara tertentu.

Reaksi stress yang muncul mengikuti stress yang dihadapi dapat berupa reaksi fisik, psikologis dan tingkah laku. Stress juga dapat berlangsung dalam jangka waktu pendek atau berkepanjangan. Bila pendek, biasanya tidak menjadi masalah besar namun bila panjang dan tidak dapat dikendalikan maka dapat memunculkan efek-efek negatif seperti depresi, sakit jantung, nafas sesak dan lain sebagainya.

Stress yang berakibat negatif dipersepsikan sebagai sesuatu yang merugikan atau menyakitkan dan disebut dengan distress, sedangkan stress yang menghasilkan perasaan menyenangkan, menantang, meningkatkan gairah dan prestasi serta meningkatkan produktivitas disebut dengan uestress (Selye, 1982).

Dalam menanggulangi stress, upaya yang harus dilakukan tidak hanya sebatas mengatasi stress saja, namun tersirat juga usaha menyesuaikan dan mengadaptasi secara efektif terhadap tuntutan-tuntutan yang dihadapi.

Teman Sejati

Karen Allen, seorang peneliti dan guru besar Universitas New York di Buffalo, mengatakan: “Kami menangkap bahwa orang memandang binatang peliharaannya sebagai sumber yang berharga dan penting dalam dukungan sosial.” Menurut studi terbarunya, dalam kondisi stress mungkin seseorang lebih baik bersama binatang kesayangan daripada teman bahkan pasangan. Dalam studi sebelumnya ditemukan pula bahwa seseorang yang memiliki binatang peliharaan, ternyata terdapat tingkat stress yang rendah, bahkan menurunkan angka rata-rata kematian serangan jantung.

Allen mengemukakan, kehadiran binatang kesayangan meringankan efek stressor pada detak jantung, tekanan darah dan mempercepat pemulihan ke tingkat mendasar. Binatang peliharaan juga membantu menurunkan ke level garis dasar pemiliknya pada kenaikan kardiovaskular serta meningkatkan kemungkinan pemilik binatang menganggap stressor sebagai sesuatu yang “menantang” daripada “mengancam”.

Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi, apakah memang karena sugesti dan kepercayaan yang telah berkembang di masyarakat, atau ada hal lain? Binatang kesayangan menurunkan tingkat stress dengan menghadirkan “nonjudgmental companionship”,dukungan yang sulit dilakukan oleh seorang sahabat atau bahkan pasangan. “Sebesar apapun kita meyakini seseorang berada pada posisi kita, selalu ada penilaian atau evaluasi,” kata Allen (Benson,2002).

Cobalah

Penelitian Allen telah membuktikan dan menguak misteri keistimewaan binatang kesayangan. Sahabat yang hadir tanpa menghakimi! Tentu saja, karena ia bukanlah manusia, walaupun dapat memberikan respon bila kita mengelus atau menyayanginya. Perawatan yang baik membuat seseorang merasa memiliki, dan binatang peliharaan pun menjadi “mengenal tuannya” sehingga terjadilah persahabatan antar keduanya. Namun demikian hal tersebut bukanlah berarti teman “manusia” tidak penting lagi. Adakalanya, seseorang membutuhkan diskusi atau umpan balik dari kegundahan hati, namun ada saatnya seseorang hanya ingin didengar, hanya butuh ‘tempat sampah’ untuk membuang semua yang menyesakkan dada. Nah saat inilah binatang kesayangan mungkin bisa membantu. Dengan sentuhan jemari anda ke bulunya yang lembut, liukan mereka saat bermanja di pangkuan, atau lonjakan tubuhnya mengejar bola bisa membuat Anda tertawa lepas, hingga mengendurkan otot-otot yang tegang dan melupakan persoalan hidup yang sedang menghimpit.

Binatang peliharaan bisa saja ikan, burung, kucing, anjing, kelinci, atau iguana, terserah pada selera dan juga kemampuan finansial anda, yang penting diketahui kini adalah mereka akan menjadi sahabat yang meredakan stress dan membuat Anda melihat stressor sebagai tantangan hidup, bukan ancaman. Selamat mencoba!(jp)

Tahapan Terjadinya Stres

Gejala-gejala stres pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan stres timbul secara lambat, dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala sudah lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Dr. Robert J. Amberg (dalam Hawari, 2001) membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut :

1.      Stres tahap I
Tahapan ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut: 1) Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting); 2) Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya; 3) Merasa mampu menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi semakin menipis.

2. Stres tahap II
Dalam tahapan ini dampak stres yang semula “menyenangkan” sebagaimana diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang hari, karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara lain dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang yang berada pada stres tahap II adalah sebagai berikut: 1) Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya merasa segar; 2) Merasa mudah lelah sesudah makan siang; 3) Lekas merasa capai menjelang sore hari; 4) Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel discomfort); 5) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar); 6) Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang; 7) Tidak bisa santai.

3.      Stres Tahap III
Apabila seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan keluhan-keluhan yang semakin nyata dan mengganggu, yaitu: 1) Gangguan lambung dan usus semakin nyata; misalnya keluhan “maag”(gastritis), buang air besar tidak teratur (diare); 2) Ketegangan otot-otot semakin terasa; 3) Perasaan ketidaktenangan dan ketegangan emosional semakin meningkat; 4) Gangguan pola tidur (insomnia), misalnya sukar untuk mulai masuk tidur (early insomnia), atau terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi atau dini hari dan tidak dapat kembali tidur (Late insomnia); 5) Koordinasi tubuh terganggu (badan terasa loyo dan serasa mau pingsan). Pada tahapan ini seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi, atau bisa juga beban stres hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami defisit.

4.      Stres Tahap IV
Gejala stres tahap IV, akan muncul: 1) Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa amat sulit; 2) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit; 3) Yang semula tanggap terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara memadai (adequate); 4) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari; 5) Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan; Seringkali menolak ajakan (negativism) karena tiada semangat dan kegairahan; 6) Daya konsentrasi daya ingat menurun; 7) Timbul perasaan ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.

5.      Stres Tahap V
Bila keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V, yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: 1) Kelelahan fisik dan mental yang semakin mendalam (physical dan psychological exhaustion); 2) Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana; 3) Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal disorder); 4) Timbul perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.

6.      Stres Tahap VI
Tahapan ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik (panic attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap VI ini berulang dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ICCU, meskipun pada akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh. Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut: 1) Debaran jantung teramat keras; 2) Susah bernapas (sesak dan megap-megap); 3) Sekujur badan terasa gemetar, dingin dan keringat bercucuran; 4) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang ringan; 5) Pingsan atau kolaps (collapse). Bila dikaji maka keluhan atau gejala sebagaimana digambarkan di atas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik yang disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh, sebagai akibat stresor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.


Cara Menghadapi Stress…..

  • Perhatikan lingkungan sekitar anda, Lihatlah mungkin ada sesuatu yang benar-benar dapat anda ubah atau kendalikan dalam situasi tersebut.
  • Belajarlah cara terbaik untuk merelaksasikan diri anda, Meditasi dan latihan pernafasan telah terbukti efektif dalam mengendalikan stress. Berlatihlah untuk menjernihkan pikiran anda dari pikiran-pikiran yang menggangu
  • Jauhkan diri anda dari situasi-situasi yang menekan, Beri diri anda kesempatan untuk beristirahat biarpun hanya untuk beberapa saat setiap hari.
  • Tentukan tujuan yang realistis bagi diri anda sendiri, Dengan mengurangi jumlah kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup anda, anda akan dapat mengurangi beban yang berlebihan.
  • Jangan mempermasalahkan hal-hal yang sepele. Cobalah untuk memprioritaskan beberpa hal yang benar-benar penting dan biarkan yang lainnya mengikuti.
  • Jangan membebani diri anda secara berlebihan,dengan mengeluh mengenai seluruh beban kerja anda. Tangani setiap tugas sebagaimana mestinya, atau tangani secara selektif dengan memperhatikan beberapa prioritas.
  • Secara selektif ubahlah cara anda bereaksi. Tapi jangan terlalu banyak sekaligus. Fokuskan pada satu masalah dan kendalikan reaksi anda terhadap hal ini.
  • Ubahlah cara pandang anda. Belajarlah untuk mengenali stress. Tingkatkan reaksi tubuh anda dan buatlah pengaturan diri terhadap stress
  • Hindari reaksi yang berlebihan. Mengapa harus membenci jika sedikit tidak suka sudah cukup? Mengapa harus merasa bingung jika cukup dengan hanya merasa gugup? Mengapa harus mengamuk jika marah saja sudah cukup? Mengapa harus depresi ketika cukup dengan merasa sedih?
  • Lakukan sesuatu untuk orang lain. Untuk melepaskan pikiran dari masalah anda sendiri.
  • Tidur secukupnya. Kurang istirahat hanya akan memperburuk stress.
  • Tingkatkan ketahanan diri anda. Yang harus digaris bawahi dari manajemen stress adalah ? Saya membuat diri saya sendiri sedih?.
Membantu Anak Mengelola Stress

Persamaan & Perbedaan

Berdasarkan standar rasa yang umum, stress itu sama saja, mau itu bagi orang dewasa atau anak-anak. Rasanya pasti tidak enak, seperti sulit tidur, lebih agresif, lebih sensitif, munculnya ketegangan, pusing, atau menurunnya semangat hidup. Hal yang sama juga akan kita dapatkan pada bagaimana stress  itu difungsikan. Menurut hukum kehidupannya, stress itu netral fungsinya, tergantung pada bagaimana stress itu akan difungsikan, mau yang ke positif atau yang ke negatif, terserah orangnya. Bedanya, orang dewasa mungkin sudah mengantongi sekian mekanisme mengenai bagaimana stress itu difungsikan, dari pengetahuan, pengalaman, atau keahliannya. Sementara, anak-anak mungkin hanya menguasai mekanisme yang masih sangat terbatas. Terkait dengan mekanisme fungsi itulah yang kemudian muncul istilah stress positif dan stress negatif, seperti  sering kita bahas di sini.

Stress positif adalah berbagai tekanan yang membuat kita lebih positif, akhirnya. Misalnya lebih terpacu mengejar target, ketuntasan, lebih kreatif, lebih disiplin, atau lebih matang, dan seterusnya. Sebaliknya, stress negatif adalah berbagai tekanan yang membuat kita semakin tertekan, semakin memburuk, baik secara fisik, intelektual, emosional, atau spiritual, lebih kacau, dan lebih mundur.

Ada hal lain lagi yang agak berbeda antara anak-anak dan orang dewasa dalam memahami stresssor. Beberapa kejadian tertentu yang mungkin bagi orang dewasa cukup menjadi stresssor, tapi bagi anak-anak biasa-biasa saja. Sebaliknya juga, mungkin ada kejadian yang bagi orang dewasa tidak begitu menjadi stresssor, tapi bagi anak-anak tidak begitu.

Perbedaan itu muncul karena perbedaan kepentingan, jangkauan pengetahuan, pemahaman, dan ilusi tentang hidup. Banyak relawan yang tidak menemukan tanda-tanda stress yang begitu gawat di anak-anak yang daerahnya menjadi korban bencana. Justru orang-orang dewasalah yang kelihatan stressnya.

Begitu juga dengan kasus perceraian orangtua. Seringkali yang suka “kasihan” itu orang-orang dewasa di sekitarnya atau yang menonton mereka di televisi. Mungkin saja anak-anak ini tidak meng-ilusi-kan kehidupan sekompleks orang dewasa. Cuma, walaupun aura stress itu tidak terlalu nampak, tapi perkembangan jiwanya sedikit banyak mengalami hambatan. Ini karena perkembangan anak itu sedikit banyaknya akan berhubungan dengan perkembangan orangtua. Logika sederhananya, kalau orangtua susah, anak juga ikut susah. Orangtua yang sedang stress sulit diharapkan memiliki hubungan yang bagus dengan anak-anak, padahal hubungan itulah yang sangat berperan.

Stresssor Bagi Anak-anak

Dalam beberapa hal yang sangat spesifik, anak-anak memiliki sumber stresssor yang berbeda dengan orang dewasa. Seperti yang sudah kita singgung di atas, mungkin ini lebih terkait dengan alamnya, kebutuhannya, atau jangkauannya. Sumber stresssor yang spesifik untuk anak itu antara lain adalah pelajaran sekolah. Pelajaran sekolah bisa berpotensi menjadi stresssor ketika pelajaran itu diberikan dalam jumlah yang banyak, dalam waktu yang sangat pendek, atau dengan cara yang mengandung ancaman menurut pemahaman anak.

Meskipun sebetulnya dia mampu mengerjakannya atau punya kapasitas untuk menyelesaikannya, tapi soal jumlah, waktu, dan cara bisa menimbulkan persoalan. Banyak anak yang nilainya jeblok padahal dia sebetulnya bisa. Ini mungkin mirip seperti stress kerja pada orang dewasa, dimana ada beban / tekanan yang imbalance dengan kapasitas dan sumber daya.

Sistem pengajaran di sekolah-sekolah sekarang ini berbeda dengan zaman kita dulu, yang ujiannya hanya dua kali setahun. Mereka bisa 4 kali sampai lebih. Kalau guru A besoknya menjadwalkan ujian, lalu guru B memberi PR yang jumlahnya banyak, bisa saja memunculkan stress pada anak.

Hal lain yang juga kerap menjadi sumber stresssor adalah pergaulan.  Di sekolah yang sebagus apapun, tetap saja ada ruang pergaulan yang di luar jangkauan kontrol guru. Bedanya hanya pada besar-kecilnya ruang itu. Semakin bagus sekolah, maka kontrolnya semakin bagus juga, kira-kira.  

Namanya juga anak-anak, mungkin ada di antara mereka itu yang punya bawaan pelaku bullying (penindas), mungkin juga ada yang membawa ciri-ciri korban bullying (lemah, kalahan, dst). Pergaulan yang mengandung ancaman, ketakutan, tidak seimbang, dan lain-lain, sangat mungkin menimbulkan stress.

Hal lainnya lagi adalah pengasuhan atau keadaan keluarga.  Model pengasuhan yang sudah didikte oleh ambisi yang berlebihan, amarah yang berlebihan, atau iri dengki terhadap anak lain, sangat mungkin menjadi stresssor.

Sikap orangtua yang cuek sampai menciptakan hubungan yang dirasakan oleh anak sebagai ketidakpedulian juga berpotensi menjadi stresssor. Hubungan suami istri yang dilanda konflik tidak sehat, lebih-lebih menahun, juga berpotensi menjadi sumber stresssor ketika semua itu sudah merembet pada buruknya hubungan orangtua-anak.

Untuk anak yang sedang “apes nasibnya”, tidak menutup kemungkinan akan menjadi depresi atau stress yang semakin menggunung dan berlangsung lama. Misalnya saja, sudah orangtuanya bertengkar terus secara tidak sehat, gurunya galak-galak pula. Sudah begitu, dia sedang ada problem dengan temanya dan PR-nya menumpuk. Ini yang sangat perlu kita antisipasi.

Di sisi lain, kita juga tetap perlu berpikir bahwa tidak  semua stressor itu jelek bagi anak kita. Barangkali itulah proses hidup yang harus dia lewati atau “pendidikan Tuhan”. Tinggal kita mengarahkan bagaimana menyikapi pendidikan Tuhan itu secara positif supaya mendapatkan benefit yang positif.
Terlalu cepat mengambil tanggung jawab dari anak dalam menghadapi stressor (protektif), tidak berarti akan menjamin hasil yang bagus. Bahkan mungkin akan membuat anak miskin pengalaman hidup yang pada dasarnya buruk buat anak. 

Beberapa Gejala Stress Pada Anak-anak

Dari sejumlah pemaparan ahli, ada beberapa gejala yang umum yang bisa kita pakai sebagai reminder / perhatian apakah anak kita sedang menghadapi stresssor atau tidak. Atau, setidak-tidaknya, kita perlu mengintensifkan dialog untuk memverifikasi atau mengkonfirmasi perasaannya.

Untuk anak-anak yang masih duduk di bangku SD, beberapa gejala itu antara lain:

  • Enggan masuk sekolah
  • Berbohong tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat
  • Mencuri yang merupakan indikasi adanya pelampiasan kengawuran (losing control)
  • Tidak semangat belajar atau kurang konsentrasi belajar
  • Hilangnya semangat hidup sehingga rewel, ngambekan, atau tidak berdamai dengan keadaan
  • Sikap cenderung lebih menentang
  • Hiperaktif
  • Ngompol
  • Problem makan 
  • Mudah mengeluhkan rasa sakit, seperti pusing, sakit perut, atau rasa sakit yang lain

Bagi anak-anak yang sudah mulai menginjak usia remaja, mungkin akhir kelas 6 atau awal masuk SMP (kelas 7), gejala yang perlu kita amati antara lain: sakit-sakitan atau mengalami banyak keluhan fisik, ada problema tingkah-laku, misalnya nakalnya menonjol, rasa malu berlebihan, ketakutan atau kekhawatiran, mudah tersinggung atau cepat kehilangan kontrol diri, atau malas-malasan belajar.

Jika dia punya kegiatan di luar rumah yang di luar kontrol orangtua, atau terlalu bebas, ini mungkin akan berpotensi sangat membahayakan mereka. Banyak bahaya yang ditelan remaja karena awalnya dari pengaruh pergaulan.

Beberapa Cara Membantu Mereka

Di luar dari apa yang perlu kita lakukan untuk membantu anak-anak, yang perlu kita tanyakan lebih dulu adalah apa yang mereka pikirkan untuk mengatasi masalahnya. Tujuan pertanyaan itu bukan untuk menemukan jawaban yang paling bagus menurut kita, tetapi untuk melatih mereka memunculkan kemandirian, minimalnya dalam berpikir.

Supaya suasana dan prosesnya eksploratif dan kreatif, yang perlu kita hindari adalah menghakimi jawabannya atau menunjukkan sikap yang meremehkan, seolah-olah jawabannya itu tidak berbobot, atau langsung memotongnya. Justru yang perlu kita tunjukkan adalah menjadi pendengar yang baik dan merangsang mereka dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka terpacu untuk berpikir bagaimana menemukan solusi dari masalahnya.

Khusus untuk masalah pergaulan, mau itu dengan  teman atau guru, yang perlu kita hindari adalah membelanya habis-habisan atau menyalahkannya habis-habisan. Membela tanpa alasan dapat melemahkan mentalnya.

Sebaliknya, menyalahkan anak yang sedang terkena masalah dapat memunculkan perasaan nobody helps them. Yang perlu kita lakukan adalah fokus pada persoalan dan bagaimana persoalan itu diselesaikan dengan cara yang membuat dia lebih pintar atau lebih matang. Untuk hal-hal yang perlu kita lakukan sebagai bantuan, kita bisa memformulasi strategi atau langkah berdasarkan kebutuhannya. Sekedar sebagai acuan / pilihan, kita bisa mengacu pada poin-poin di bawah ini:

Mengantisipasi: membantu mereka mengerjakan PR atau mengajari cara-cara belajar yang lebih mudah, menjalin hubungan yang lebih cooperative dengan guru kelas, sering-sering berdialog agar cepat terdeteksi masalahnya, menunjukkan perhatian dan dukungan  yang tulus. Ini bisa mengantisipasi stresssor.

Mengarahkan, misalnya menjelaskan makna atau mengarahkan sikap positif. Ini pas digunakan untuk menjelaskan stresssor yang memang harus diterima, misalnya kematian, bencana, atau kepergian sahabat.
Memperbaiki mekanisme atau  siasat mental. Ini pas untuk melatih anak yang sedang punya masalah pergaulan yang menurut kita masih belum saatnya didiskusikan dengan pihak sekolah

Memotivasi atau membesarkan hatinya yang diikuti dengan program nyata. Misalnya nilainya jatuh atau dihukum sekolah karena keteledorannya. Yang perlu kita lakukan adalah mengajak dia untuk meningkatkan kuantitas atau kualitas belajarnya. Tanpa program yang nyata, bisa-bisa kita membohongi mereka.

Melaporkan ke sekolah / guru. Ini jika di kelas sudah terjadi praktek bullying yang didiamkan atau di luar kontrol guru. Kalau ada anak lain yang juga menjadi korban, kita perlu ajak orangtuanya untuk mendiskusikan solusinya dengan pihak sekolah. Tapi, karena anak-anak, maka fokus kita adalah problem dan solusi, bukan ke anaknya.

Ada konsep pendek yang bisa kita terjemahkan se-variatif mungkin untuk membantu mereka dalam mengatasi stress. Sebenarnya ini juga pas buat orang dewasa seperti kita. Konsep yang yang pendek itu adalah:
  • Membiarkan, untuk hal-hal yang sudah tak mungkin diubah.
  •  Melakukan sesuatu, untuk hal-hal yang memang harus diubah atau masih bisa diubah
  • Mengantisipasi kejadian atau akibat yang bisa menjadi stresssor.

Cuma, semua itu butuh proses. Tidak bisa kita menyuruh anak untuk melupakan atau membiarkan sesuatu yang ia anggap itu menekan dirinya. Membiarkan pun butuh proses. Dalam banyak hal, peranan waktu menjadi penting.

Beda Generasi Beda Stressor

Sepertinya kurang pas jika kita selalu berpikir anak-anak kita itu sudah jauh dari stressor karena hidupnya sudah jauh lebih enak dibanding kita dulu. Dalam beberapa hal, memang mereka lebih enak dibanding kita, tetapi untuk hal-hal tertentu, dia tidak lebih enak dibanding kita.

Dulu, problemnya kita mungkin kurangnya fasilitas, seperti sekolah harus jalan kaki berkilo-kilo. Tapi sekarang ini problemnya macet dan tuntutan kompetensi serta kompetisi. Banyak anak kecil yang harus bekerja keras untuk sekolah. Intinya, setiap generasi itu ada masalahnya sendiri dan ada peluangnya sendiri. Tuhan menyebut diri-Nya sebagi Pendidik alam semesta. Sebagai Pendidik, pasti akan membedakan masalah dan peluangnya. 

0 comments:

Posting Komentar