Stress? Belailah Kucing!
Bagi
penyayang kucing, kalimat diatas mungkin sudah tidak terlalu asing. Namun bagi
yang tidak pernah memiliki atau terpaksa menjauhi kucing karena alergi terhadap
bulunya, mungkin meragukan dan menganggap judul diatas hanya mitos atau sugesti
belaka. Selain kucing, anjing atau binatang berbulu lain, masih banyak binatang
peliharaan yang diyakini dapat menjadi obat stress seperti burung atau ikan.
Ikan! Siapa yang tak pernah mendengar Lou-Han, si jidat menonjol dengan warna
menyolok yang sedang menjadi primadona? Meskipun harganya mahal, sebagian
masyarakat Indonesia tidak kehabisan akal untuk mengkoleksinya, termasuk
mengalah memilih yang lokal biar sedikit “miring” harganya. Perkutut pun masih
menjadi idola sebagian penyayang burung dengan suaranya yang indah, sekali lagi
menghilangkan stress!
Stress dapat terjadi
dalam berbagai kondisi dan situasi, demikian juga pelaku atau individu yang
mengalami stress ini. Pelaku stress pun tidak hanya pada seseorang namun juga
secara kolektif seperti masyarakat. Hal itu disebabkan karena sumber stress
dapat berasal dari apa pun, tergantung dari persepsi penerima.
Stres
Salah satu pendekatan
untuk mengenal stress adalah pendekatan psikologik. Pendekatan psikologik
menggambarkan bagaimana cara seseorang mempersepsikan suatu peristiwa atau
kondisi, berperan dalam menentukan stress. Hal inilah yang dikenal dengan
“Model Penilaian” atau “Penafsiran Stres”.
Stress dirumuskan
sebagai suatu keadaan psikologik yang merupakan representasi dari transaksi
khas dan problematik antara seseorang dan lingkungannya. Selye mengungkapkan
adanya “stressor” yang merupakan unsur lingkungan dari stress (1950). Sedangkan
hakekat sumber stress dalam pendekatan psikologik adalah semua kondisi atau
situasi yang ada dalam kehidupan kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut dapat
ditarik kesimpulan bahwa stress merupakan kondisi yang timbul saat seseorang
berinteraksi dan bertransaksi dengan situasi-situasi yang dihadapinya dengan
cara-cara tertentu.
Reaksi stress yang
muncul mengikuti stress yang dihadapi dapat berupa reaksi fisik, psikologis dan
tingkah laku. Stress juga dapat berlangsung dalam jangka waktu pendek atau
berkepanjangan. Bila pendek, biasanya tidak menjadi masalah besar namun bila
panjang dan tidak dapat dikendalikan maka dapat memunculkan efek-efek negatif
seperti depresi, sakit jantung, nafas sesak dan lain sebagainya.
Stress yang
berakibat negatif dipersepsikan sebagai sesuatu yang merugikan atau menyakitkan
dan disebut dengan distress, sedangkan stress yang menghasilkan perasaan
menyenangkan, menantang, meningkatkan gairah dan prestasi serta meningkatkan
produktivitas disebut dengan uestress (Selye, 1982).
Dalam menanggulangi
stress, upaya yang harus dilakukan tidak hanya sebatas mengatasi stress saja,
namun tersirat juga usaha menyesuaikan dan mengadaptasi secara efektif terhadap
tuntutan-tuntutan yang dihadapi.
Teman
Sejati
Karen Allen, seorang
peneliti dan guru besar Universitas New York di Buffalo, mengatakan: “Kami
menangkap bahwa orang memandang binatang peliharaannya sebagai sumber yang
berharga dan penting dalam dukungan sosial.” Menurut studi terbarunya, dalam
kondisi stress mungkin seseorang lebih baik bersama binatang kesayangan
daripada teman bahkan pasangan. Dalam studi sebelumnya ditemukan pula bahwa
seseorang yang memiliki binatang peliharaan, ternyata terdapat tingkat stress
yang rendah, bahkan menurunkan angka rata-rata kematian serangan jantung.
Allen mengemukakan,
kehadiran binatang kesayangan meringankan efek stressor pada detak jantung,
tekanan darah dan mempercepat pemulihan ke tingkat mendasar. Binatang
peliharaan juga membantu menurunkan ke level garis dasar pemiliknya pada
kenaikan kardiovaskular serta meningkatkan kemungkinan pemilik binatang
menganggap stressor sebagai sesuatu yang “menantang” daripada “mengancam”.
Lalu bagaimana hal itu
bisa terjadi, apakah memang karena sugesti dan kepercayaan yang telah
berkembang di masyarakat, atau ada hal lain? Binatang kesayangan menurunkan
tingkat stress dengan menghadirkan “nonjudgmental companionship”,dukungan yang
sulit dilakukan oleh seorang sahabat atau bahkan pasangan. “Sebesar apapun kita
meyakini seseorang berada pada posisi kita, selalu ada penilaian atau
evaluasi,” kata Allen (Benson,2002).
Cobalah
Penelitian Allen telah
membuktikan dan menguak misteri keistimewaan binatang kesayangan. Sahabat yang
hadir tanpa menghakimi! Tentu saja, karena ia bukanlah manusia, walaupun dapat
memberikan respon bila kita mengelus atau menyayanginya. Perawatan yang baik
membuat seseorang merasa memiliki, dan binatang peliharaan pun menjadi
“mengenal tuannya” sehingga terjadilah persahabatan antar keduanya. Namun
demikian hal tersebut bukanlah berarti teman “manusia” tidak penting lagi.
Adakalanya, seseorang membutuhkan diskusi atau umpan balik dari kegundahan
hati, namun ada saatnya seseorang hanya ingin didengar, hanya butuh ‘tempat
sampah̢۪ untuk membuang semua yang menyesakkan dada. Nah saat inilah binatang
kesayangan mungkin bisa membantu. Dengan sentuhan jemari anda ke bulunya yang
lembut, liukan mereka saat bermanja di pangkuan, atau lonjakan tubuhnya
mengejar bola bisa membuat Anda tertawa lepas, hingga mengendurkan otot-otot
yang tegang dan melupakan persoalan hidup yang sedang menghimpit.
Binatang peliharaan
bisa saja ikan, burung, kucing, anjing, kelinci, atau iguana, terserah pada
selera dan juga kemampuan finansial anda, yang penting diketahui kini adalah
mereka akan menjadi sahabat yang meredakan stress dan membuat Anda melihat
stressor sebagai tantangan hidup, bukan ancaman. Selamat mencoba!(jp)
Tahapan Terjadinya Stres
Gejala-gejala stres
pada diri seseorang seringkali tidak disadari karena perjalanan awal tahapan
stres timbul secara lambat, dan baru dirasakan bilamana tahapan gejala sudah
lanjut dan mengganggu fungsi kehidupannya sehari-hari baik di rumah, di tempat
kerja ataupun pergaulan lingkungan sosialnya. Dr. Robert J. Amberg (dalam
Hawari, 2001) membagi tahapan-tahapan stres sebagai berikut :
1. Stres
tahap I
Tahapan
ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya disertai dengan perasaan-perasaan
sebagai berikut: 1) Semangat bekerja besar, berlebihan (over acting); 2)
Penglihatan “tajam” tidak sebagaimana biasanya; 3) Merasa mampu menyelesaikan
pekerjaan lebih dari biasanya, namun tanpa disadari cadangan energi semakin
menipis.
2. Stres tahap II
2. Stres tahap II
Dalam
tahapan ini dampak
stres yang semula “menyenangkan” sebagaimana
diuraikan pada tahap I di atas mulai menghilang, dan timbul keluhan-keluhan
yang disebabkan karena cadangan energi yang tidak lagi cukup sepanjang hari,
karena tidak cukup waktu untuk beristirahat. Istirahat yang dimaksud antara
lain dengan tidur yang cukup, bermanfaat untuk mengisi atau memulihkan cadangan
energi yang mengalami defisit. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan oleh
seseorang yang berada pada stres tahap
II adalah sebagai berikut: 1) Merasa letih sewaktu bangun pagi yang seharusnya
merasa segar; 2) Merasa mudah lelah sesudah makan siang; 3) Lekas merasa capai
menjelang sore hari; 4) Sering mengeluh lambung/perut tidak nyaman (bowel
discomfort); 5) Detakan jantung lebih keras dari biasanya (berdebar-debar); 6)
Otot-otot punggung dan tengkuk terasa tegang; 7) Tidak bisa santai.
3. Stres
Tahap III
Apabila
seseorang tetap memaksakan diri dalam pekerjaannya tanpa menghiraukan
keluhan-keluhan pada stres tahap II, maka akan menunjukkan keluhan-keluhan yang
semakin nyata dan mengganggu, yaitu: 1) Gangguan lambung dan usus semakin
nyata; misalnya keluhan “maag”(gastritis), buang air besar tidak teratur
(diare); 2) Ketegangan otot-otot semakin terasa; 3) Perasaan ketidaktenangan
dan ketegangan emosional semakin meningkat; 4) Gangguan pola tidur (insomnia),
misalnya sukar untuk mulai masuk tidur (early insomnia), atau terbangun tengah
malam dan sukar kembali tidur (middle insomnia), atau bangun terlalu pagi atau
dini hari dan tidak dapat kembali tidur (Late insomnia); 5) Koordinasi tubuh
terganggu (badan terasa loyo dan serasa mau pingsan). Pada tahapan ini
seseorang sudah harus berkonsultasi pada dokter untuk memperoleh terapi, atau
bisa juga beban
stres hendaknya dikurangi dan tubuh memperoleh
kesempatan untuk beristirahat guna menambah suplai energi yang mengalami
defisit.
4. Stres
Tahap IV
Gejala
stres tahap IV, akan muncul: 1) Untuk bertahan sepanjang hari saja sudah terasa
amat sulit; 2) Aktivitas pekerjaan yang semula menyenangkan dan mudah
diselesaikan menjadi membosankan dan terasa lebih sulit; 3) Yang semula tanggap
terhadap situasi menjadi kehilangan kemampuan untuk merespons secara memadai
(adequate); 4) Ketidakmampuan untuk melaksanakan kegiatan rutin sehari-hari; 5)
Gangguan pola tidur disertai dengan mimpi-mimpi yang menegangkan; Seringkali
menolak ajakan (negativism) karena tiada semangat dan kegairahan; 6) Daya konsentrasi daya ingat menurun; 7) Timbul perasaan
ketakutan dan kecemasan yang tidak dapat dijelaskan apa penyebabnya.
5. Stres
Tahap V
Bila
keadaan berlanjut, maka seseorang itu akan jatuh dalam stres tahap V, yang
ditandai dengan hal-hal sebagai berikut: 1) Kelelahan fisik dan mental yang
semakin mendalam (physical dan psychological exhaustion); 2) Ketidakmampuan
untuk menyelesaikan pekerjaan sehari-hari yang ringan dan sederhana; 3)
Gangguan sistem pencernaan semakin berat (gastrointestinal disorder); 4) Timbul
perasaan ketakutan, kecemasan yang semakin meningkat, mudah bingung dan panik.
6. Stres
Tahap VI
Tahapan
ini merupakan tahapan klimaks, seseorang mengalami serangan panik (panic
attack) dan perasaan takut mati. Tidak jarang orang yang mengalami stres tahap
VI ini berulang dibawa ke Unit Gawat Darurat bahkan ICCU, meskipun pada
akhirnya dipulangkan karena tidak ditemukan kelainan fisik organ tubuh.
Gambaran stres tahap VI ini adalah sebagai berikut: 1) Debaran jantung teramat
keras; 2) Susah bernapas (sesak dan megap-megap); 3) Sekujur badan terasa
gemetar, dingin dan keringat bercucuran; 4) Ketiadaan tenaga untuk hal-hal yang
ringan; 5) Pingsan atau kolaps (collapse). Bila dikaji maka keluhan atau gejala
sebagaimana digambarkan di atas lebih didominasi oleh keluhan-keluhan fisik
yang disebabkan oleh gangguan faal (fungsional) organ tubuh, sebagai akibat
stresor psikososial yang melebihi kemampuan seseorang untuk mengatasinya.
Cara Menghadapi
Stress…..
- Perhatikan lingkungan sekitar anda, Lihatlah mungkin ada sesuatu yang benar-benar dapat anda ubah atau kendalikan dalam situasi tersebut.
- Belajarlah cara terbaik untuk merelaksasikan diri anda, Meditasi dan latihan pernafasan telah terbukti efektif dalam mengendalikan stress. Berlatihlah untuk menjernihkan pikiran anda dari pikiran-pikiran yang menggangu
- Jauhkan diri anda dari situasi-situasi yang menekan, Beri diri anda kesempatan untuk beristirahat biarpun hanya untuk beberapa saat setiap hari.
- Tentukan tujuan yang realistis bagi diri anda sendiri, Dengan mengurangi jumlah kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup anda, anda akan dapat mengurangi beban yang berlebihan.
- Jangan mempermasalahkan hal-hal yang sepele. Cobalah untuk memprioritaskan beberpa hal yang benar-benar penting dan biarkan yang lainnya mengikuti.
- Jangan membebani diri anda secara berlebihan,dengan mengeluh mengenai seluruh beban kerja anda. Tangani setiap tugas sebagaimana mestinya, atau tangani secara selektif dengan memperhatikan beberapa prioritas.
- Secara selektif ubahlah cara anda bereaksi. Tapi jangan terlalu banyak sekaligus. Fokuskan pada satu masalah dan kendalikan reaksi anda terhadap hal ini.
- Ubahlah cara pandang anda. Belajarlah untuk mengenali stress. Tingkatkan reaksi tubuh anda dan buatlah pengaturan diri terhadap stress
- Hindari reaksi yang berlebihan. Mengapa harus membenci jika sedikit tidak suka sudah cukup? Mengapa harus merasa bingung jika cukup dengan hanya merasa gugup? Mengapa harus mengamuk jika marah saja sudah cukup? Mengapa harus depresi ketika cukup dengan merasa sedih?
- Lakukan sesuatu untuk orang lain. Untuk melepaskan pikiran dari masalah anda sendiri.
- Tidur secukupnya. Kurang istirahat hanya akan memperburuk stress.
- Tingkatkan ketahanan diri anda. Yang harus digaris bawahi dari manajemen stress adalah ? Saya membuat diri saya sendiri sedih?.
Membantu
Anak Mengelola Stress
Persamaan
& Perbedaan
Berdasarkan standar
rasa yang umum, stress itu sama saja, mau itu bagi orang dewasa atau
anak-anak. Rasanya pasti tidak enak, seperti sulit tidur, lebih agresif, lebih
sensitif, munculnya ketegangan, pusing, atau menurunnya semangat hidup. Hal yang
sama juga akan kita dapatkan pada bagaimana stress itu difungsikan.
Menurut hukum kehidupannya, stress itu netral fungsinya, tergantung
pada bagaimana stress itu akan difungsikan, mau yang ke positif atau
yang ke negatif, terserah orangnya. Bedanya, orang dewasa mungkin sudah
mengantongi sekian mekanisme mengenai bagaimana stress itu
difungsikan, dari pengetahuan, pengalaman, atau keahliannya. Sementara,
anak-anak mungkin hanya menguasai mekanisme yang masih sangat terbatas. Terkait
dengan mekanisme fungsi itulah yang kemudian muncul
istilah stress positif dan stress negatif, seperti
sering kita bahas di sini.
Stress positif
adalah berbagai tekanan yang membuat kita lebih positif, akhirnya. Misalnya
lebih terpacu mengejar target, ketuntasan, lebih kreatif, lebih disiplin, atau
lebih matang, dan seterusnya. Sebaliknya, stress negatif adalah
berbagai tekanan yang membuat kita semakin tertekan, semakin memburuk, baik
secara fisik, intelektual, emosional, atau spiritual, lebih kacau, dan lebih
mundur.
Ada hal lain lagi yang
agak berbeda antara anak-anak dan orang dewasa dalam memahami stresssor.
Beberapa kejadian tertentu yang mungkin bagi orang dewasa cukup
menjadi stresssor, tapi bagi anak-anak biasa-biasa saja. Sebaliknya juga,
mungkin ada kejadian yang bagi orang dewasa tidak begitu
menjadi stresssor, tapi bagi anak-anak tidak begitu.
Perbedaan itu muncul
karena perbedaan kepentingan, jangkauan pengetahuan, pemahaman, dan ilusi
tentang hidup. Banyak relawan yang tidak menemukan
tanda-tanda stress yang begitu gawat di anak-anak yang daerahnya
menjadi korban bencana. Justru orang-orang dewasalah yang
kelihatan stressnya.
Begitu juga dengan
kasus perceraian orangtua. Seringkali yang suka “kasihan” itu orang-orang
dewasa di sekitarnya atau yang menonton mereka di televisi. Mungkin saja
anak-anak ini tidak meng-ilusi-kan kehidupan sekompleks orang dewasa. Cuma,
walaupun aura stress itu tidak terlalu nampak, tapi perkembangan
jiwanya sedikit banyak mengalami hambatan. Ini karena perkembangan anak itu
sedikit banyaknya akan berhubungan dengan perkembangan orangtua. Logika
sederhananya, kalau orangtua susah, anak juga ikut susah. Orangtua yang
sedang stress sulit diharapkan memiliki hubungan yang bagus dengan
anak-anak, padahal hubungan itulah yang sangat berperan.
Stresssor Bagi
Anak-anak
Dalam beberapa hal yang
sangat spesifik, anak-anak memiliki sumber stresssor yang berbeda
dengan orang dewasa. Seperti yang sudah kita singgung di atas, mungkin ini
lebih terkait dengan alamnya, kebutuhannya, atau jangkauannya. Sumber stresssor yang
spesifik untuk anak itu antara lain adalah pelajaran sekolah. Pelajaran sekolah
bisa berpotensi menjadi stresssor ketika pelajaran itu diberikan
dalam jumlah yang banyak, dalam waktu yang sangat pendek, atau dengan cara yang
mengandung ancaman menurut pemahaman anak.
Meskipun sebetulnya dia
mampu mengerjakannya atau punya kapasitas untuk menyelesaikannya, tapi soal
jumlah, waktu, dan cara bisa menimbulkan persoalan. Banyak anak yang
nilainya jeblok padahal dia sebetulnya bisa. Ini mungkin mirip
seperti stress kerja pada orang dewasa, dimana ada beban / tekanan
yang imbalance dengan kapasitas dan sumber daya.
Sistem pengajaran di
sekolah-sekolah sekarang ini berbeda dengan zaman kita dulu, yang ujiannya
hanya dua kali setahun. Mereka bisa 4 kali sampai lebih. Kalau guru A besoknya
menjadwalkan ujian, lalu guru B memberi PR yang jumlahnya banyak, bisa saja
memunculkan stress pada anak.
Hal lain yang juga
kerap menjadi sumber stresssor adalah pergaulan. Di sekolah
yang sebagus apapun, tetap saja ada ruang pergaulan yang di luar jangkauan
kontrol guru. Bedanya hanya pada besar-kecilnya ruang itu. Semakin bagus
sekolah, maka kontrolnya semakin bagus juga, kira-kira.
Namanya juga anak-anak,
mungkin ada di antara mereka itu yang punya bawaan pelaku bullying (penindas),
mungkin juga ada yang membawa ciri-ciri korban bullying (lemah,
kalahan, dst). Pergaulan yang mengandung ancaman, ketakutan, tidak seimbang,
dan lain-lain, sangat mungkin menimbulkan stress.
Hal lainnya lagi adalah
pengasuhan atau keadaan keluarga. Model pengasuhan yang sudah didikte
oleh ambisi yang berlebihan, amarah yang berlebihan, atau iri dengki terhadap
anak lain, sangat mungkin menjadi stresssor.
Sikap orangtua
yang cuek sampai menciptakan hubungan yang dirasakan oleh anak sebagai
ketidakpedulian juga berpotensi menjadi stresssor. Hubungan suami istri
yang dilanda konflik tidak sehat, lebih-lebih menahun, juga berpotensi menjadi
sumber stresssor ketika semua itu sudah merembet pada buruknya
hubungan orangtua-anak.
Untuk anak yang sedang
“apes nasibnya”, tidak menutup kemungkinan akan menjadi depresi
atau stress yang semakin menggunung dan berlangsung lama. Misalnya
saja, sudah orangtuanya bertengkar terus secara tidak sehat, gurunya
galak-galak pula. Sudah begitu, dia sedang ada problem dengan temanya dan
PR-nya menumpuk. Ini yang sangat perlu kita antisipasi.
Di sisi lain, kita juga
tetap perlu berpikir bahwa tidak semua stressor itu jelek bagi anak
kita. Barangkali itulah proses hidup yang harus dia lewati atau “pendidikan
Tuhan”. Tinggal kita mengarahkan bagaimana menyikapi pendidikan Tuhan itu
secara positif supaya mendapatkan benefit yang positif.
Terlalu cepat mengambil
tanggung jawab dari anak dalam menghadapi stressor (protektif), tidak
berarti akan menjamin hasil yang bagus. Bahkan mungkin akan membuat anak miskin
pengalaman hidup yang pada dasarnya buruk buat anak.
Beberapa
Gejala Stress Pada Anak-anak
Dari sejumlah pemaparan
ahli, ada beberapa gejala yang umum yang bisa kita pakai
sebagai reminder / perhatian apakah anak kita sedang
menghadapi stresssor atau tidak. Atau, setidak-tidaknya, kita perlu
mengintensifkan dialog untuk memverifikasi atau mengkonfirmasi perasaannya.
Untuk anak-anak yang
masih duduk di bangku SD, beberapa gejala itu antara lain:
- Enggan masuk sekolah
- Berbohong tanpa alasan yang bisa diterima akal sehat
- Mencuri yang merupakan indikasi adanya pelampiasan kengawuran (losing control)
- Tidak semangat belajar atau kurang konsentrasi belajar
- Hilangnya semangat hidup sehingga rewel, ngambekan, atau tidak berdamai dengan keadaan
- Sikap cenderung lebih menentang
- Hiperaktif
- Ngompol
- Problem makan
- Mudah mengeluhkan rasa sakit, seperti pusing, sakit perut, atau rasa sakit yang lain
Bagi anak-anak yang
sudah mulai menginjak usia remaja, mungkin akhir kelas 6 atau awal masuk SMP
(kelas 7), gejala yang perlu kita amati antara lain: sakit-sakitan atau
mengalami banyak keluhan fisik, ada problema tingkah-laku, misalnya nakalnya
menonjol, rasa malu berlebihan, ketakutan atau kekhawatiran, mudah tersinggung
atau cepat kehilangan kontrol diri, atau malas-malasan belajar.
Jika dia punya kegiatan
di luar rumah yang di luar kontrol orangtua, atau terlalu bebas, ini mungkin
akan berpotensi sangat membahayakan mereka. Banyak bahaya yang ditelan remaja
karena awalnya dari pengaruh pergaulan.
Beberapa
Cara Membantu Mereka
Di luar dari apa yang
perlu kita lakukan untuk membantu anak-anak, yang perlu kita tanyakan lebih
dulu adalah apa yang mereka pikirkan untuk mengatasi masalahnya. Tujuan
pertanyaan itu bukan untuk menemukan jawaban yang paling bagus menurut kita,
tetapi untuk melatih mereka memunculkan kemandirian, minimalnya dalam berpikir.
Supaya suasana dan
prosesnya eksploratif dan kreatif, yang perlu kita hindari adalah menghakimi
jawabannya atau menunjukkan sikap yang meremehkan, seolah-olah jawabannya itu
tidak berbobot, atau langsung memotongnya. Justru yang perlu kita tunjukkan
adalah menjadi pendengar yang baik dan merangsang mereka dengan
pertanyaan-pertanyaan yang membuat mereka terpacu untuk berpikir bagaimana menemukan
solusi dari masalahnya.
Khusus untuk masalah
pergaulan, mau itu dengan teman atau guru, yang perlu kita hindari adalah
membelanya habis-habisan atau menyalahkannya habis-habisan. Membela tanpa
alasan dapat melemahkan mentalnya.
Sebaliknya, menyalahkan
anak yang sedang terkena masalah dapat memunculkan perasaan nobody helps
them. Yang perlu kita lakukan adalah fokus pada persoalan dan bagaimana
persoalan itu diselesaikan dengan cara yang membuat dia lebih pintar atau lebih
matang. Untuk hal-hal yang perlu kita lakukan sebagai bantuan, kita bisa
memformulasi strategi atau langkah berdasarkan kebutuhannya. Sekedar sebagai
acuan / pilihan, kita bisa mengacu pada poin-poin di bawah ini:
Mengantisipasi:
membantu mereka mengerjakan PR atau mengajari cara-cara belajar yang lebih
mudah, menjalin hubungan yang lebih cooperative dengan guru kelas,
sering-sering berdialog agar cepat terdeteksi masalahnya, menunjukkan perhatian
dan dukungan yang tulus. Ini bisa mengantisipasi stresssor.
Mengarahkan, misalnya
menjelaskan makna atau mengarahkan sikap positif. Ini pas digunakan untuk
menjelaskan stresssor yang memang harus diterima, misalnya kematian,
bencana, atau kepergian sahabat.
Memperbaiki mekanisme
atau siasat mental. Ini pas untuk melatih anak yang sedang punya
masalah pergaulan yang menurut kita masih belum saatnya didiskusikan dengan
pihak sekolah
Memotivasi atau
membesarkan hatinya yang diikuti dengan program nyata. Misalnya nilainya jatuh
atau dihukum sekolah karena keteledorannya. Yang perlu kita lakukan adalah
mengajak dia untuk meningkatkan kuantitas atau kualitas belajarnya. Tanpa
program yang nyata, bisa-bisa kita membohongi mereka.
Melaporkan ke sekolah /
guru. Ini jika di kelas sudah terjadi praktek bullying yang didiamkan
atau di luar kontrol guru. Kalau ada anak lain yang juga menjadi korban, kita
perlu ajak orangtuanya untuk mendiskusikan solusinya dengan pihak sekolah.
Tapi, karena anak-anak, maka fokus kita adalah problem dan solusi, bukan ke
anaknya.
Ada konsep pendek yang
bisa kita terjemahkan se-variatif mungkin untuk membantu mereka dalam
mengatasi stress. Sebenarnya ini juga pas buat orang dewasa seperti kita.
Konsep yang yang pendek itu adalah:
- Membiarkan, untuk hal-hal yang sudah tak mungkin diubah.
- Melakukan sesuatu, untuk hal-hal yang memang harus diubah atau masih bisa diubah
- Mengantisipasi kejadian atau akibat yang bisa menjadi stresssor.
Cuma, semua itu butuh
proses. Tidak bisa kita menyuruh anak untuk melupakan atau membiarkan sesuatu
yang ia anggap itu menekan dirinya. Membiarkan pun butuh proses. Dalam banyak
hal, peranan waktu menjadi penting.
Beda
Generasi Beda Stressor
Sepertinya kurang pas
jika kita selalu berpikir anak-anak kita itu sudah jauh dari stressor
karena hidupnya sudah jauh lebih enak dibanding kita dulu. Dalam beberapa hal,
memang mereka lebih enak dibanding kita, tetapi untuk hal-hal tertentu, dia
tidak lebih enak dibanding kita.
Dulu, problemnya kita
mungkin kurangnya fasilitas, seperti sekolah harus jalan kaki berkilo-kilo.
Tapi sekarang ini problemnya macet dan tuntutan kompetensi serta kompetisi.
Banyak anak kecil yang harus bekerja keras untuk sekolah. Intinya, setiap
generasi itu ada masalahnya sendiri dan ada peluangnya sendiri. Tuhan menyebut
diri-Nya sebagi Pendidik alam semesta. Sebagai Pendidik, pasti akan membedakan
masalah dan peluangnya.
0 comments:
Posting Komentar