Dimanakah
Bahayanya FB?
Di awal tahun 2010 ini,
kita dikejutkan oleh pemberitaan miring seputar penyimpangan sejumlah remaja
yang gara-garanya Facebook (FB). Seorang remaja putri di Jawa Timur, nekat lari
ke Jakarta, meninggalkan orangtuanya, setelah berkenalan dengan teman baru dari
Tangerang melalui FB. Kata polisi, mereka telah melakukan perbuatan yang jauh
belum saatnya.
Kasus yang sama menimpa
remaja A di Jawa Tengah. Setelah sering menggunakan seluler untuk FB-an, remaja
itu menghilang entah kemana. Ada semakin banyak orangtua yang menggelisahakan
aktivitas putra-putrinya sehabis sekolah. Mereka tidak pulang. Mereka mampir di
warnet untuk FB-an.
Bahkan, di jam-jam yang
mestinya mereka masuk kelas pun, mereka kedapatan nongkrong di warnet, seperti
yang terjadi di Depok. Setelah dilihat apa yang mereka lakukan, ternyata isinya
balik lagi ke YM dan FB. Di Lampung, 4 pelajar remaja diberhentikan dari
sekolahnya karena dinilai telah menghina guru mereka melalui FB.
Berdasarkan kasus-kasus
itu, muncul pro-kontra dalam masyarakat. Ada yang berpendapat, FB harus
diharamkan karena madhorot-nya. Tapi, kenyataan di lapangan sepertinya
kurang bisa menerima secara plong pendapat ini. Alasannya, menurut pendapat
yang tidak setuju, “ Kan bukan FB-nya yang salah. Yang salah kan otak
manusianya?”, begitu kira-kira.
Alasan lainnya, FB
tidak otomatik memberikan madhorot. Bahkan sempat terbukti memberikan
maslahat, minimalnya untuk kelompok atau orang tertentu. Katakanlah di
sini dukungan untuk Pak Bibit-Chanda, dukungan untuk pulau Komodo, dan
lain-lain. Malah sekarang ini, FB telah dijadikan tren menggalang dukungan.
Terlepas pro-kontra
itu, tetapi faktanya FB itu sudah ada di depan mata dan nyata. Sebagai produk
tehnologi, dia hanya enabler (perangkat yang membuat kita mampu),
bukan creator (perangkat yang berinisiatif sendiri). Karena enabler,
dia bisa berbahaya dan juga bisa bermafaat, tergantung di tangan
siapa. Man behind the gun.
Autisme
Sosial Remaja
Sebut saja di sini
keluarga Pak Djodi yang secara ekonomi masuk di kelas menengah. Karena ayah dan
ibu bekerja di luar rumah, keluarga ini punya agenda memanfaatkan waktu
liburnya untuk kumpul keluarga: ayah, ibu, dan kedua anaknya yang remaja.
Tapi apa yang terjadi
selama di kendaraan dan di restoran? Kedua anaknya sibuk memainkan hape untuk
sms-an atau FB-an dengan temannya yang entah di mana. Walhasil, hanya
kelihatannya saja itu acara keluarga. Batin anaknya
tidak involve 100% di proses acara keluarga itu. Malah terkesan
buru-buru ingin meninggalkan acara karena ada urusan di luar lewat hape.
Ilustrasi di atas
rasa-ranya sudah bukan fiktif lagi saat ini. Itu sudah menjadi fakta. Anak-anak
remaja saat ini menghadapi banyaknya pilihan dan godaan yang ditawarkan layar
kaca dan dunia maya, dari mulai hape, internet, game, dan lain-lain. Mungkin,
orangtuanya dulu menghadapi tantangan berupa sedikitnya pilihan dan banyaknya
keterbatasan.
Pertanyaannya,
tantangan manakah yang sebetulnya lebih berat? Tantangan yang kita hadapi dulu
atau tantangan yang dihadapi anak-anak kita sekarang ini? Namanya tantangan,
pasti sama-sama berat. Karena itu, terkadang tidak seluruhnya tepat kalau kita
mengatakan kepada anak, misalnya begini: “Kan hidupmu sudah enak, tidak seperti
ayah-ibu dulu?”
Layar kaca dan dunia
maya adalah tantangan generasi sekarang. Jika sikap mentalnya tidak tepat,
misalnya berlebihan atau disalahgunakan, akan memberikan bahaya yang ekstrimnya
seperti pada kasus-kasus di atas. Bahaya lain yang kelihatannya tidak ekstrim,
tetapi tidak bisa dianggap remeh adalah melumpuhnya ketrampilan sosial (autisme
sosial).
Padahal itu sangat
dibutuhkan bagi kehidupannya di alam nyata, di sekolah, di tempat kerja, di
keluarga, di masyarakat, dan seterusnya. Beberapa gejala kelumpuhan sosial yang
perlu kita amati itu antara lain:
- Rendahnya kemampuan bertatakrama, tatasusila dan etika dalam berkomunikasi
- Rendahnya kemampuan membaca bahasa batin dalam berkomunikasi
- Melemahnya kepekaan terhadap kenyataan sehingga tidak mampu menyelami “What is happening” dan “What to do”
- Membudayanya berpikir yang serba tehnik dalam menghadapi hidup karena terbiasa menghadapi tehnologi sehingga kurang bisa “soft” atau bijak
- Rendahnya kemampuan menyelesaikan konflik dalam interaksi
Itu semua akan terjadi
apabila penggunaan layar kaca dan dunia maya berlebihan atau tidak berkonsep,
misalnya hanya untuk hahak-huhuk atau hanya karena desakan tren dan
distraksi (gangguan pengembangan-diri) yang jauh dari sesuatu
yang important (penting) atau priority (sangat penting).
Lain soal kalau
digunakan untuk menjalankan konsep, seperti mahasiswa di Malang yang berhasil
menciptakan game kelas internasional karena sering di warnet dekat
rumahnya. Atau juga untuk mengkaji dan menambah pengetahuan, seperti yang
dilakukan anak MAN di Bandung yang ilmunya lebih bagus dari gurunya gara-gara
internet.
Pentingnya
Interaksi Langsung
Sejak zaman dulu,
peradaban manusia telah menawarkan berbagai cara untuk berkomunikasi, tidak
selalu langsung berhadapan dan bergesekan. Misalnya saja surat-menyurat yang
sudah dikenal sejak dula kala. Kemudian muncul tehnologi dengan menggunakan
telepon. Dan kini muncul yang lebih canggih, chating atau FB.
Ada fakta menarik yang
kerap luput dari kesadaran kita bahwa meski kemajuan zaman itu menawarkan sekian
cara berkomunikasi, tetapi untuk kepentingan learning (mendewasakan
manusia), belum ada yang bisa menggantikan atau mengungguli peranan komunikasi
langsung (interaksi).
Malah kalau menurut
laporan riset mengenai social learning (belajar dengan melihat orang
lain), ternyata pengaruh interaksi melebihi pengajaran di kelas, seminar, atau
belajar dari internet, terutama untuk pembelajaran perilaku. Adapun untuk
menambah pengetahuan (pembelajaran intelektual) memang sekolah tidak ada
duanya.
Kalau logika ini kita
kaitkan dengan masalah yang mengancam kemampuan sosial remaja di atas, maka
beberapa poin penting yang perlu kita sadari adalah:
- Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin berkurang kesempatannya untuk belajar bertatakrama, tatasusila dan beretika. Dunia maya hanya mengajarkan apa yang ditulis. Soal tatakrama, tentu sangat minim. Seorang mahasiswa yang kebetulan asyik sms-an lalu menabrak dosennya, mungkin hanya akan bilang sori, dengan muka yang biasa-biasa. Padahal, secara tatakramanya mestinya tidak begitu.
- Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin sedikit kesempatannya membaca suara batin orang lain. Kemampuan membaca suara yang tidak terdengar dalam komunikasi hanya bisa digali dari interaksi langsung. Menurut Peter Drucker dan juga praktek hidup yang kita alami, kemampuan membaca menjadi kunci dan tertinggi kualitasnya.
- Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk merasakan dan menangkap apa yang terjadi nyata di sekelilingnya, seperti pada kasus ilustrasi keluarga Pak Djodi di atas. Atau juga bisa menjadikan FB sebagai pelampiasan mengatasi rasa malu dengan cara melarikan diri dari realitas, bukan work on reality.
- Semakin berlebihan dia berinteraksi dengan kaca dan maya, akan semakin kecil kesempatannya untuk menggunakan pikirannya bagaimana berkreasi secara kreatif menghadapi konflik dalam praktek hubungan. Di dunia maya, begitu kita tidak cocok dengan seseorang, tulis aja atau delete aja. Tapi, dalam praktek hidup, itu tidak bisa.
Kalau dilihat dari
konsep pendidikannya, dunia maya dan layar kaca pun dibutuhkan dalam
mendewasakan manusia. Tetapi, jangan sampai itu menggantikan interaksi
langsung, kecuali untuk ruang dan jarak yang tak bisa ditembus. Kenapa?
Dunia maya dan layar
kaca hanya sampai pada memberi sumbangan dalam bentuk data, informasi, dan
pengetahuan. Untuk praktek hidup, ini perlu ditambah lagi dengan wisdom.
Darimana ini digali? Wisdom digali dari praktek, dari interaksi, dari konflik,
dari gesekan, dan dari pemaknaan.
“DATA – INFORMATION –
KNOWLEDGE – WISDOM”
Manajemen
Layak Kaca & Maya Di Sekolah Dan Rumah
Akhirnya, mau tidak
mau, kita harus berurusan dengan manajemen (pengaturan dan pengelolaan) untuk
anak-anak kita yang sedang gandrung-gandrungnya FB dan Hape.
Cara yang paling simpel, namun biasanya kurang ngefek itu adalah
yang ekstrim, misalnya melarang atau membiarkan.
Ini karena pada setiap
perkembangan manusia itu memunculkan watak ganda. Pada remaja, satu sisi dia
harus tahu perkembangan zaman dan terlibat di dalamnya agar dia bisa bersikap.
Kalau kita memaksa dia harus seperti kita, mungkin dia akan manjadi manusia
terkuno di zamannya nanti.
Tetapi di sisi lain,
konsistensi dia dalam memegangi ajaran moral dan mental itu masih labil, belum
terkonstruksi secara kuat, layaknya orang dewasa. Karena itu, memberi cek
kosong kepercayaan pada remaja, seringkali membuahkan penyesalan di kemudian
hari.
Nah, manajemen di sini
berguna untuk bagaimana kita tetap memberi kesempatan kepada mereka terlibat
dalam perkembangan zaman, namun tidak sampai termakan oleh asumsi bahwa anak
kita pasti sudah bisa menjaga dirinya sehingga kita terlalu membiarkan.
Agar manajemen ini bekerja,
tentu dibutuhkan aksi, entah itu sosialisasi pemahaman, regulasi penggunaan,
atau antisipasi penyalahgunaan. Untuk tehniknya, pasti kita punya cara sendiri
yang lebih membumi. Hanya, secara umum, tehnik yang bisa kita acu itu antara
lain:
- Memberi bekal pengetahuan dan penyadaran mengenai hebatnya tehnologi dan potensi bahaya yang bisa ditimbulkannya. Anak kita sudah tahu itu, tetapi ucapan kita tetap diperlukan
- Mengorek sikap anak terhadap kasus-kasus remaja terutama yang ditudingkan ke FB untuk memperkuat konstruksi sikapnya dalam menghadapi hidup
- Beradu kompetisi untuk menemukan data, informasi, dan pengetahuan melalui internet dengan anak atau minimalnya belajar dari anak atau belajar bersama dia.
- Perlu memonitor apa yang dilakukan anak selama berinteraksi dengan hape atau FB untuk memberikan ide-ide evaluasi konstruktif (membangun).
- Perlu untuk tidak memberikan privacy yang berlebihan pada anak, misalnya kamarnya dikunci, di lantai II, bebas main internet tanpa pantauan, sms-an sampai tengah malam, pulang sekolah seenaknya, dan seterus
- Tetap memberi ruang untuk berinteraksi dengan kita secara nyata, face-to-face, dan real life agar terjadi gesekan, social learning, dan dinamika.
Yang
Baik Pun Kalau Berlebihan Menjadi Kurang
Sampai pun kita
tahu bahwa anak kita menggunakan internet itu untuk kebaikan, namun kalau
berlebihan, misalnya berjam-jam di depan komputer, itu bisa menjadi kekurangan
buat dia. Membaca buku itu sangat bagus, tetapi kalau berlebihan, terkadang
menciptakan kekurangan, misalnya tidak bisa ngomong
secara flow (mengalir), kurang tahan menghadapi kenyataan, atau
keseimbangan fisiknya kurang.
Selama masih usia
remaja, akan lebih bagus kalau dia merasakan berbagai pengalaman hidup,
lebih-lebih pengalaman yang sedang ngetren di zamannya, namun tetap kita
arahkan untuk memfokusi beberapa bidang yang nantinya berguna untuk dia, sambil
bekerjasama untuk memantangkan mental dan moralnya.
0 comments:
Posting Komentar