Anda pasti akan
terbahak kalau pada tulisan ini saya mendefinisikan apa itu humor. Seperti
kekurangan ide aja, mendefinisikan humor sementara hampir setiap detik kita
tertawa mendengar gelitik canda dalam bus kota, kereta, mobil, ketika menonton
televisi, bermain game komputer, membaca buku, singkatnya di manapun
berada kita bisa guyon, humor, bahkan dalam alam pikir kita sendiri. Alam
pikir? Ya, buktinya ketika tak ada seorang pun yang melontarkan cerita atau
celetukan lucu, tetap saja terjadi seseorang tiba-tiba tersenyum bahkan
terkikik sendiri. Artinya kita bisa menciptakan kelucuan dari sekitar dengan
atau tanpa orang lain.
Lalu, apa itu lelucon,
apa itu lucu? Ini tidak sekedar melucu, karena tidak sedikit penelitian
psikologi yang menyelidiki humor, termasuk manfaatnya dalam dunia psikologi
praktis.
Persepsi
tentang Humor
Humor is a social
instrument that provides an effective way to reduce psychological distress,
communicate a range of feelings and ideas, and enhance relationships; also,
humor protects social relationships when communicating negative
information.(Baldwin,2007)
Humor provides a means
to communicate ideas and feelings, convey criticism, and express hostility in a
socially acceptable manner(Brownell & Gardner, 1988; Dixon, 1980; Haig,
1986; Martin, 2001 in Baldwin 2007).
Kemampuan mentertawakan
kondisi sekitar, diri sendiri, pilihan sendiri, menjadi salah satu katup yang
akan melancarkan kembali kemampatan hidup. Pernah tidak anda mengalami kejadian
seperti ini; anda ingin membeli sebuah pesawat televisi, sepertinya begitu
sederhana, namun ternyata pilihan yang hadir sangat beragam, tidak hanya itu,
anda pun harus menyesuaikan dengan lembaran yang tersedia dalam kantong.
Anda melakukan studi
produk dengan membaca informasi dari koran, internet, diskusi dengan teman,
kakak, juga orangtua. Lalu, anda mulai melakukan survey ke pusat
elektronik terlengkap di kota anda, hmm.. dijamin deh.. sesampai di sana
anda bisa terbius oleh jajaran pesawat televisi beraneka rupa, ditambah rayuan
orang-orang yang seakan tak pernah lelah mengobral keunggulan tiap produk
dagangannya. Anda bisa terbius dan akhirnya menunjuk satu kotak ajaib itu, atau
perputaran bintang di kepala mendorong anda untuk pulang tanpa satu kotak
pilihan pun.
Mungkin anda memilih
yang ke dua, karena anda termasuk orang yang tidak mau membeli sesuatu dalam
kondisi ’tak sadar diri’. Sehari kemudian, ketika anda sedang berjalan ke
arah mesin ATM dekat kompleks rumah, tiba-tiba mata anda tertuju pada satu toko
kecil di samping ATM, toko elektronika. Anda pun memasuki toko itu dan melihat
beberapa televisi yang tidak menyala dengan gemerlap seperti di beberapa pusat
elektronika megah yang kemarin anda kunjungi. Namun, tidak sampai lima belas
menit, anda sudah mengulurkan lembaran uang sebagai transaksi diiringi senyum
puas.
Kisah sukses ini akan
mendapat sambutan riuh sahabat anda, â€Huu... jauh-jauh
kutemani ke pusat elektronika, belinya di samping rumah..â€
Kalau ada yang tidak
tertawa, atau terguling-guling sakit perut, mungkin kita perlu melihat juga
reaksi apa yang terjadi dalam diri sewaktu mengkonsumsi humor.
Reaksi
Kognitif & Afektif
Apresiasi terhadap
humor tidak murni merupakan kerja kognitif tetapi diperlukan juga keterlibatan
proses afektif di dalamnya. Elemen kognitif di sini mengacu pada pemahaman
humor dengan kemampuan mengenali atau mendeteksi disparitas antara materi humor
dan pengalaman yang pernah terjadi sebelumnya (humor comprehensive). Pada
sisi lain, elemen afeksi mengacu pada pengalaman menyenangkan (respons
emosional) terhadap materi humor tersebut (humor appreciation) .
Mendengar lelucon,
pacuan denyut jantung kita meningkat, kulit tubuh pun bereaksi, disusul segera
oleh reaksi afektif yang positif dan kuat (Goldstein, Harman, McGhee, &
Karasik, 1975; Katz, 1993; McGhee, 1983 dalam Berry 2004). Inilah yang
menjelaskan mengapa badan kita terguncang-guncang, muka memerah, nafas terengah
dan telapak tangan memegangi perut ketika mendengar cerita lucu. Semua
merupakan kerjasama rapi dan detil dari reaksi kognitif mengenali lelucon yang
menjelma dalam reaksi fisik, disertai afeksi menyenangkan.
Menertawakan
Lelucon
Apa yang membuat satu
kejadian mampu memancing tawa pada sekelompok orang namun tidak sama sekali
pada orang lain?
Studi menunjukkan
kemampuan membedakan antara lucu dan tidak lucunya stimuli visual terkait pada
sederhana atau tidaknya peristiwa termasuk konsepnya. Selain itu, humor juga
bisa kita lihat menjadi dua jenis yakni humor verbal dan non-verbal. Apresiasi
keduanya tentu tidak sama, humor verbal terkait dengan kemampuan abstraksi dan
fleksibilitas mental, sementara humor non-verbal terkait dengan atensi visual.
Lelucon yang kita
dengar dalam suatu percakapan membutuhkan kemampuan membayangkan dan
menghadirkan imagi visual untuk menghasilkan reaksi positif yaitu tawa atau
perasaan geli. Pada humor non verbal, contohnya membaca komik atau menonton
film kartun membutuhkan perhatian visual kita untuk menggelitik sensitivitas
humor diri kita.
Masih ada hal lain,
yaitu pola hubungan sosial yang ternyata berpengaruh untuk menerabas perbedaan
stimuli humor verbal maupun non-verbal. Misalnya, sekelompok mahasiswa
psikologi, kemungkinan besar telah akrab dengan berbagai istilah yang dengan
renyah sering menjadi bahan canda, seperti ’proyeksi’,
atau ’denial’.
Ketika seseorang dalam
kelompok bercerita tentang mahasiswa yang dianggap begitu menyenangi dosen baru
padahal di mata dia menyebalkan, kemudian ada celetukanâ€Proyeksi
tuh, padahal wajah lu berbinar juga sekali setiap di kelas dosen
ganteng itu... ,â€disambut gelak tawa,
namun dua mahasiswa Arsitek lain yang kebetulan berada di dekat mereka akan
mengernyitkan dahi dan mencoba lebih keras memahami makna kata
‘proyeksi’. Apakah sama dengan proyeksi seperti pada gambar perspektif
yang sering mereka buat?
Berlaku pula ketika
mahasiswa psikologi terkikik melihat cipratan tinta yang secara spontan
memancing humor ala test Rosarch, bukan merupakan humor bagi mahasiswa seni
rupa misalnya. Maka konteks pun memegang peran di sini.
Humor dalam
Konseling
Seperti bentuk interaksi
lain dalam kehidupan manusia, sesi konseling pun salah satu bentuk interaksi.
Komunikasi selalu memerlukan ’kesamaan bahasa’ untuk bisa terhubung. Kita
mengenal sebuah istilah ice breaking, sebaai salah satu titik krusial
dalam menjalin rapport di garis awal sesi ini. Humor telah menjadi pilihan
spontan, tidak kecuali bagi konselor dan klien sendiri.
Konselor perlu melihat
dan menentukan kondisi yang tepat ketika akan menyelipkan atau menggunakan
humor dalam sesi konselingnya. Penggunaan humor ini menuntut pengukuran tingkat
ketepatan dalam waktu dan sensitivitas. Humor yang tepat dan positif bukan
tidak mungkin mampu menciptakan great insight bagi kehidupan
dan dunia klien.
Sebagai pemecah
kekakuan dan ketegangan yang mungkin tercipta di awal konseling, idealnya humor
mampu meredakan ketegangan dan memberi kemajuan positif dalam interaksi
selanjutnya. Studi telah menunjukkan bahwa humor memang instrumen yang ampuh
dalam konseling. Interpretasi tepat terhadap atmosfer atau suasana klien (konseling)
serta kepribadian klien, menjadi pertimbangan penting bagi konselor untuk
mengeluarkan joke-joke segar sebagai pendukung kesuksesan konseling.
Humor juga merupakan
representasi komunikasi dan ekspresi klien. Klien memanfaatkan humor sebagai
alat komunikasi untuk menanggapi berbagai aspek yang disajikan dalam proses
konseling. Tidak jarang klien merasa grogi atau cemas ketika memasuki sesi
konseling, maka humor menjadi barometer tingkat kenyamanan dan keamanan yang
akan didapatkan dari interaksi dengan konselor. Kembali, humor berperan sebagai
pemecah kekakuan dan ketegangan yang cukup sensitif.
Humor
Memacu Kreativitas
Humor dan kesehatan
telah banyak diperbincangkan dan dibuktikan, karena tertawa berarti melakukan
peregangan otot-otot halus tidak hanya di sekitar wajah tapi seluruh tubuh
sehingga kita menjadi santai. Humor juga berkhasiat memacu kreativitas,
karenanya sangat dianjurkan dalam ruang kelas maupun ruang keluarga.
Pendekatan komunikasi
dan interaksi antara orangtua dan anak, pengajar dan anak didik dapat mendorong
kreativitas serta kemampuan berpikir, mengenalkan nilai-nilai, mengajarkan
perilaku positif dan tanggung jawab pada lingkungan sekitar, menanamkan rasa
percaya dan kepercayaan diri anak-anak dengan mengenalkan satu mekanisme untuk
menghadapi kesedihan, kekecewaan atau perasaan duka (Lovorn,2008).
Mengapa? Karena
mengapresiasi humor tidak sekedar terbahak, dibutuhkan sensitivitas sosial
mencakup momen, siapa dan di mana kita saat itu. Mungkin kita sendiri akan
langsung merasa geli menghadai satu kegagalan, tetapi kita perlu berpikir ulang
ketika mendapati sahabat yang begitu terpukul pada satu kejadian, tidak serta
merta humor bisa menjadi obat kekecewaan. Maka, mengenalkan dan
membiasakan humor pada anak-anak, sekaligus melatih banyak aspek seperti
terungkap dalam penelitian Lovorn di atas.
JK.Rowling dalam
karyanya â€Harry
Potterâ€
pun menawarkan ’terapi’ humor pada pembacanya dengan menciptakan
mantra â€Ridiculus†untuk
melenyapkan boggart, makhluk non penyihir yang selalu berwujud beda-beda
tergantung ketakutan yang dimiliki penyihir. Seperti Ron Weasley yang takut
pada laba-laba, maka boggart akan menampakkan dirinya sebagai laba-laba
raksasa, mengucapkan mantra Ridiculus dan membayangkan laba-laba
(ketakutan) menjadi /melakukan sesuatu yang menggelikan, maka hilanglah
ketakutan (Boggart) itu.
Menertawakan ketakutan
diri sendiri, menjadi obat penawar yang ampuh, itulah yang ingin
disampaikan.
0 comments:
Posting Komentar