Dalam prakteknya, kita
memang tidak bisa memperdebatkan apakah kesabaran itu penting atau tidak. Tidak
bisa juga kita memilih untuk menjadi orang yang sabar atau tidak. Sejauh kita
ingin memanifestasikan apa yang belum nyata di pikiran, kesabaran itu mutlak
dibutuhkan. Pasalnya, semua manifestasi itu butuh proses dan perjuangan. Maksud
perjuangan di sini adalah the activity that not only doing, aktivitas yang
tidak semata melakukan sesuatu, melainkan usaha yang menuntut pengerahan daya
upaya, yang di dalamnya pasti mencakup kesabaran. Kalau kita ingin membangun
usaha, dalam skala apapun, pasti modal kita tidak cukup hanya beraktivitas yang
biasa-biasa sekalipun kita sudah memiliki modal material dan finansial yang
cukup. Membangun usaha butuh pengerahan daya upaya atau biasa kita sebut
perjuangan.
Selain sebagai syarat
mutlak perjuangan, kesabaran juga memberikan efek mental yang disebut kekuatan
batin. Orang menjadi kuat bukan karena kesuksesan. Kalau Anda tiba-tiba
langsung sukses di bisnis, misalnya, belum tentu kesuksesan itu membuat Anda
kuat mengelolanya. Kekuatan batin itu dibentuk dari kesabaran kita dalam
menghadapi kenyataan pada saat kita memperjuangkan sesuatu. Ini yang membuat
para pengusaha senior tidak begitu reaktif terhadap kegagalan atau kerugian.
Jiwanya sudah terlatih untuk menjadi kuat. Struktur batin manusia itu sering
digambarkan seperti batang pohon. Ia menjadi kuat bukan karena dijauhkan dari
terpaan angin atau dari sinar matahari. Ia menjadi kuat karena dilatih oleh
terpaan dan sinar.
Prioritas
Kesabaran
Meski kesabaran itu
dibutuhkan di semua aktivitas yang kita sebut perjuangan itu, tetapi kalau
melihat prioritasnya, ada situasi dan kondisi tertentu yang menuntut kita untuk
harus lebih bersabar. Bila melihat poin-poin penting dari catatan Pak
Quraish Shihab, yang bisa kita baca dari buku-buku beliau, beberapa situasi dan
kondisi itu antara lain:
- Pada saat kita menanti ketetapan Tuhan, Menurut ketetapan Tuhan, apapun yang kita usahakan itu PASTI akan ada balasannya. Cuma, balasan itu seringkali diakhirkan, di tanggal yang kita tidak ketahui seluruhnya, meski ada sebagian yang bisa diketahui.Menanti ketetapan yang belum diketahui ini butuh kesabaran.
- Pada saat kita menanti bukti yang diragukan orang-orang sekitar. Terkadang kita perlu terobosan yang kreatif dan umumnya terobosan itu menghadapi opini pihak lain yang kurang mendukung. Seperti diungkapkan Einstein, setiap ide yang hebat itu selalu mendapatkan sikap yang kurang mendukung dari orang yang biasa-biasa. Untuk membuktikan bahwa terobosan yang kita ambil itu kreatif (menghasilkan sesuatu yang lebih unggul), dibutuhkan kesabaran.
- Pada saat menghadapi ejekan / gangguan orang-orang yang menentang. Tidak berarti kalau kita punya ide / rencana yang bagus, benar, dan bermanfaat itu lantas langsung mendapatkan dukungan dari manusia, seperti misalnya di kita harus ada berbagai komisi tentang hal-hal positif. Umumnya malah ditentang atau dikebiri dulu atau mendapatkan ujian. Rencana itu hanya akan bisa jalan apabila kesabarannya kuat.
- Saat menghadapi dorongan nafsu untuk membalas dendam, Upaya untuk memukul balik atas apa yang dilakukan orang terhadap kita, memang bisa saja muncul saat kita misalnya diperlakukan kurang baik oleh orang-orang tertentu. Namanya juga manusia. Kita sulit menjadi pemaaf atau orang yang berjiwa besar. Agar ini tidak terjadi, dibutuhkan kesabaran, alias menahan diri.
- Saat menghadapi keadaan buruk yang di luar rencana Malapetaka, musibah, bencana, penyakit, atau hal-hal buruk lain yang tidak kita inginkan, memang bisa terjadi kapan saja, entah dari sebab yang logis atau yang beyond logis. Untuk menghadapinya, dibutuhkan kesabaran.
- Saat memperjuangkan hasil yang sesuai kebutuhan atau keinginan. Hasil yang sempurna itu terjadi karena dua hal, yaitu good management dan good luck (tangan Tuhan). Terkadang kita mendapatkan yang lebih baik dari rencana tetapi terkadang tidak. Untuk menghadapi seni keadaan yang seperti ini tentu dibutuhkan kesabaran.
- Pada saat menjalankan pengabdian kepada Tuhan. Semua bentuk pengabdian kepada Tuhan, dari mulai yang kecil sampai ke yang besar, membutuhkan kesabaran. Sebab, di samping ada godaan, terkadang juga situasinya kurang mendukung. Sudah begitu, hasilnya tidak nyata, seperti makan cabe. Karenanya butuh kesabaran.
Tak Selamanya Kesabaran
itu Baik
Meski sedemikian
prinsipnya kesabaran itu bisa dijelaskan di sini, tapi dalam prakteknya tidak
semua yang kita sebut sebagai kesabaran itu membuahkan kekuatan, keberhasilan,
atau kemajuan. Atau dengan kata lain, tidak semua kesabaran itu baik.
Seperti apa kesabaran yang berpotensi tidak baik itu? Sebelumnya harus kita
sepakati dulu bahwa yang kurang baik di sini tentu bukan konsep dari ajaran
sabarnya, tetapi apa yang kita duga sebagai kesabaran itulah yang
seringkali berproblem. Misalnya kita bertahan pada keadaan buruk, tanpa ada
dorongan untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik dengan memperjuangkan
sesuatu. Kita bisa saja menduga bertahan di sini sebagai wujud kesabaran.
Padahal, lemahnya dorongan di situ dapat membuahkan keburukan dan ada banyak
alasan untuk mengatakannya bukan sebagai kesabaran yang diajarkan.
Kenapa? Kalau melihat
kesabaran yang diajarkan, kesabaran itu konteksnya pada berjuang atau pada saat
memperjuangkan sesuatu. Sabar itu menunggu, bertahan, atau menghindari, tetapi
semua itu kita lakukan pada saat melakukan effort that not only
doing itu. Begitu konteks-nya kita hilangkan, kesabaran kita berubah
menjadi kepasrahan terhadap kenyataan buruk. Kepasrahan demikian disebutnya
fatalisme yang ditolak oleh semua ajaran dan akal sehat karena keburukan yang
akan ditimbulkan.Termasuk dalam pengertian sabar yang kurang baik adalah
terlalu tahan terhadap derita; atau yang dalam kajian sains-nya biasa disebut
stoisme, bekunya jiwa terhadap rasa derita atau bahagia. Ini membahayakan
apabila sudah menumpulkan kreativitas dan daya juang. Kita sudah terlalu tahan
terhadap derita sehingga kurang tergerak untuk mencari solusinya.
Kesabaran juga akan
berpotensi buruk apabila telah mengurangi kewajiban kita untuk bertanggung
jawab, baik personal atau sosial. Seorang suami kurang bisa dibenarkan menyuruh
istrinya bersabar pada saat dirinya malas-malasan; atau misalnya lagi kita
memilih untuk membiarkan ada anggota keluarga yang perilakunya berpotensi
membahayakan dirinya dan orang banyak dengan menggunakan alasan kesabaran.
Kesabaran demikian sangat berpotensi mendatangkan keburukan.
Kesabaran juga akan
sangat berpotensi mendatangkan keburukan apabila dalam operasinya telah
mengabaikan kewajiban kita untuk ber-empati pada orang lain. Kita menasehati
orang lain supaya bersabar, dalam arti tidak melakukan apa-apa, sehingga
mendatangkan keburukan.
Siklus
Aktif Kesabaran
Agar kita terhindar
dari praktek kesabaran yang berpotensi membuahkan keburukan, memang perlu ada
antisipasi atau koreksi. Antisipasinya bisa kita buat berdasarkan penjelasan
banyak ahli di bidang keimanan. Kalau melihat kajian di bidang keimanan,
kesabaran itu ternyata bukan ajaran hidup yang berdiri sendiri dan untuk tujuan
kesabaran. Kita tidak boleh bersabar hanya untuk bersabar, sebab akan rentan
jatuh pada kepasrahan yang kalah, seperti yang sudah kita singgung di atas.
Jadi bagaimana?
Kesabaran itu perlu digandengkan dengan keimanan dan kesyukuran dalam bentuk
hubungan yang bersiklus dan bekerja secara aktif sesuai dengan kenyataan yang
kita hadapi. Sederhananya bisa kita pahami seperti pada ilustrasi di bawah ini.
Jika dikontekskan
dengan kehidupan sehari-hari, pemahaman yang bisa kita bangun itu adalah bahwa
kita itu perlu memperjuangkan apa yang kita imani sebagai kebenaran atau
kebaikan. Misalnya kita mengimani adanya solusi (pertolongan Tuhan) dari
persoalan yang tengah kita hadapi. Tentu, namanya iman itu bukan sebatas
mempercayai, melainkan membuktikan kebenaran dari apa yang kita percayai
melalui serangkaian tindakan. Untuk membuktikan itu, pastinya butuh kesabaran,
dalam arti menunggu, bertahan, atau melewati proses, sampai berhasil. Setelah
solusi itu terwujud, sikap yang secepatnya perlu dimunculkan adalah bersyukur.
Syukur dalam arti menggunakan apa yang sudah ada untuk perbaikan, peningkatan,
atau hal-hal lain yang membuat hidup kita makin baik, dengan cara-cara yang
positif.
Mengabaikan kesyukuran
saat hidup sedang OK, dapat membuahkan keburukan. Banyak orang yang justru
mendapatkan kesengsaraan dari keberhasilannya, misalnya menyalahkan-gunakan
kekuasaan, jabatan, atau melampaui batas, karena kurang bersyukur. Termasuk
juga bila kita terlalu lama menikmati keberhasilan. Ditempatkan menjadi
manajer HRD, misalnya begitu, yang semula kita pahami sebagai nikmat, akan
berubah menjadi sesuatu yang biasa-biasa atau mungkin menjadi beban, jika kita
gagal mengembangkan diri sebagai wujud kesyukuran. "Walaupun Anda sudah berada
di track yang benar, tetapi akan salah bila Anda di situ terlalu
lama", pesan Jhon C. Maxwell.
Bisa juga kita
menggunakannya untuk konteks yang agak berbeda. Ketika sedang terkena problem,
kita menggunakan keimanan dan kesabaran. Tapi begitu hidup kita lagi OK,
bergelimpangan resource, kita menggunakan keimanan dan kesyukuran.
Memainkan otak untuk mengetahui kapan menggunakan kesabaran dan kesyukuran yang
berakar pada realisasi keimanan inilah yang bisa kita pahami sebagai siklus
aktif kesabaran. Kesabaran dengan begitu bukan tujuan, tetapi kendaraan jiwa
untuk mencapai tujuan.
Menjaga
Jarak Yang Sehat
Kunci lain lagi agar
kita tidak terjebak mempraktekkan ajaran yang benar, namun dengan cara yang
salah atau mengakibatkan kesalahan adalah dengan menjaga jarak yang
sehat. Saya kira ini tidak saja berlaku untuk kesabaran, tetapi juga
untuk yang lain-lain, seperti ketekunan, kebaikan, ketakwaan, dan seterusnya.
Menjaga jarak yang sehat di sini maksudnya jangan sampai kita kebablasan (over)
sehingga kurang seimbang antara kewajiban untuk menerima kenyataan dan
kewajiban untuk memperbaikinya. Misalnya kita tiba-tiba harus menghadapi
kenyataan buruk. Saat itu, kewajiban kita adalah menerima kenyataan. Protes
atau men-denial-nya malah dapat memperburuk jiwa. Tapi, ketika sikap
demikian itu mulai memunculkan tanda-tanda yang kurang baik, maka kita perlu
menggantinya dengan kewajiban memperbaiki kenyataan dengan memunculkan
inisiatif dan aksi.
Menjaga jarak juga saat
diperlukan antara kapan kita menggunakan kecerdasan dan kapan kita menggunakan
keimanan agar terjadi keseimbangan. Keduanya sangat penting sehingga
mengabaikan salah satunya secara berlebihan dapat memunculkan masalah. Kalau
kita terlalu mengabaikan iman dengan bersandar pada kecerdasan akal, lama-lama
akan hampa karena kekeringan nilai-nilai abstrak. Padahal, di bagian
tertentu dari kenyataan yang kita hadapai, nilai-nilai abstrak itu penting.
Tapi, kalau sedikit-sedikit lari pada keimanan, dengan mengesampingkan akal,
bisa fatal juga akibatnya.
0 comments:
Posting Komentar